Tak
kusangka
Jean
yang berkepribadian baik dan sopan itu,
ternyata
harus memikul beban yang berat sebagai keturunan raja bangsa ini.
Ambisi
seperti apakah yang ada pada dirimu Jean?
Chapter 6 : Special Friends
Upacara
peringatan tahun ini sungguh berbeda dan sangat mengesankan.
Kehadiran Jean melecut dan memacu semangat kami yang berperan
sebagai penerus bangsa ini. Kami serasa menjadi tumpuan masa depan
kerajaan Britain yang mengharapkan agar kami berguna untuk bangsa dan
mengabdi secara setia. Upacara hari ini ditutup dengan menyanyikan
lagu kebangsaan negara kami, Hail
Britain.
bibir semua orang yang mengikuti upacara ini bergerak untuk
menyanyikan lagu dengan penuh rasa setia dan keagungan. Sungguh suatu
negara yang agung.
Begitu upacara selesai, Mr.Robson beserta Jean dan
pengajar lainnya turun dari panggung upacara yang besar itu menuju
ke kantor guru. Sepertinya mereka akan mengadakan perjamuan minum teh
sehingga kami para siswa memiliki waktu luang selama setengah jam.
Setelah mereka semua turun dari panggung, kami para pemimpin barisan
yang lain membubarkan barisan setelah membeli hormat terlebih dahulu
kepada bendera Britain.
Para siswa langsung berhamburan membubarkan barisannya
seperti gerombolan semut yang melarikan diri dari semprotan pembasmi
serangga. Kulihat Ren Misumi, seorang pengguna break pembaca pikiran
tampak kebingungan diantara gerombolan siswa. Ia pasti kebingungan
hendak pergi kemana, karena ia sekarang adalah siswa baru sekolahku.
Aku ingin mengajaknya mengobrol sebentar dan mengantarnya ke kantor
guru, tapi ku urungkan niatku. Aku tak mau ia besar kepala bahwa aku
berusaha mendekatinya atau bahkan mengejar-ngejar dia. Lagipula ia
seorang pembaca pikiran, pasti ia bisa membaca pikiran ratusan siswa
disini untuk bertanya dimana letak kantor guru, jika ia tak berani
bicara secara langsung terhadap siswa disini.
Waktu masih tersisa setengah jam sebelum pelajaran jam
pertama dimulai. Banyak siswa yang pergi kekantin untuk sarapan atau
bahkan membeli snack kecil untuk cemilan disaat pelajaran nanti.
Kulihat ada juga beberapa anak klub basket memonopoli lapangan basket
untuk bermain, sehingga anak-anak yang bukan klub basket tidak bisa
memakai lapangan. Klub basket disekolahku memang cukup terkenal
sehingga lapangan basket selalu tersedia kapanpun mereka ingin
bermain atau berlatih. Ada juga gerombolan anak pecinta sastra menuju
perpustakaan di lantai tiga. Sebuah perpustakaan yang terdiri dari
tiga kelas yang dijebolkan menjadi satu ruangan besar.
Aku kadang-kadang sering menuju perpustakaan ketika
jam pelajaran telah usai. Meskipun hanya sekedar melihat-lihat
buku,entah mengapa aroma debu pada buku-buku tua yang tersusun rapi
di rak-rak yang masih terbuat dari kayu itu selalu menarik
perhatianku. Perpustakaanku cukup besar, bisa menampung seratus orang
lebih. Tapi selama aku bersekolah disini, perpustakaan hanya berisi
kurang dari duapuluhan siswa setiap ku ke perpustakaan. Dan kulihat
pula banyak siswa yang naik tangga menuju kekelas masing-masing.
Biasanya mereka mengerjakan PR yang lupa dikerjakan, atau bermain
poker bersama teman-temannya.
“Hari ini upacara berjalan dengan lancar. Terimakasih
untuk semuanya” kata Shierly di hadapan para puluhan siswa yang
bertanggungjawab terhadap upacara ini.
“Tentu saja,Shierly. Aku akan selalu ikut membantu
setiap kau minta tolong padamu.” ucap Hans dengan angkuh. Lalu
disambut gelak tawa para panitia lainnya.
“Baiklah kalau begitu kalian boleh meninggalkan
perlengkapan yang kalian pakai di tenda itu. Sampai jumpa
kawan-kawan” jawab Shierly sambil melambaikan tangan meninggalkan
kami. Shierly sempat menepuk pipiku ketika hendak pergi, dan kulihat
muka Hans kembali kelihatan tak suka padaku.
“Wah, kau begitu akrab dengan shierly ya,Rowan?”
tanya Derrick kepadaku sambil meremas pundakku.
“iya. Kami hanya teman sejak kecil. Baiklah aku
pergi dulu ya. Aku masih mengantuk” jawabku sambil melepaskan
atribut yang kupakai dan meninggalkan para panitia yang masih hangat
membicarakan pidato Jean hari ini.
Untuk menghabiskan waktu luangku, aku melakukan
kebiasaanku ketika jam istirahat. Yaitu naik ke atap sekolah dilantai
tujuh. Hal ini biasa kulakukan karena aku suka dengan pemandangan
yang luas dari atas sehingga aku bisa melihat sekitar sekolah
Marineford yang terdiri dari perumahan cluster yang tak begitu sepi
namun juga tak begitu ramai. Aku menaiki tangga dari lantai satu,
saat berada dilantai lima, aku berhenti sejenak. Kuatur nafasku yang
sudah dari tadi terengah-engah. Kuluruskan kakiku yang sudah terasa
pegal karena aku hanya berjalan dan berdiri dari pagi hingga
sekarang. Semoga saja otot kaki ku tidak putus,mengingat aku yang
selama ini jarang berolahraga. Setelah mengumpulkan nafas, aku naik
lagi tangga demi tangga hingga akhirnya pintu besi yang menghubungkan
ke atap sekolah terlihat. Pintu yang terbuat dari besi ini cukup
besar, membuatku teringat akan pintu hitam yang ada didalam jiwaku.
Kulihat pintu ini terbuka sedikit, menandakan ada siswa
yang sedang berada diatap sekolah. Aku berani bertaruh bahwa itu
adalah Fritz dan kekasihnya. Kebiasaanya ketika istirahat ataupun
waktu luang,Memadu kasih. Fritz adalah kakak kelasku yang cukup
terkenal karena kenakalan dan keberandalannya. Dan hanya ia seorang
yang pernah menantang Mr. Brown untuk berduel. Dan hasilnya pun bisa
diketahui, Mr.Brown menang dengan sekali hantam. Untung saat itu Mr.
Brown tidak dikeluarkan dari sekolah gara-gara menghajar murid.
“Permisi, apakah ada orang didalam?” teriakku
dibalik pintu besi itu untuk memberikannya kode bahwa ada orang yang
akan naik ke atap.
Kudengar suara berisik dan ada yang membalas
teriakanku, “Ya masuk saja!”. Itu adalah suara Fritz, benar
dugaanku. Aku pun membuka pintu atap sekolah dan kulihat Fritz dan
kekasihnya keluar dari gudang diatap sekolahku.
“Cih, Bisakah kau tidak menggangguku sebentar saja,
Thomskin?” Fritz memicingkan matanya, dan meninggalkanku turun dari
atap sambil menggandeng kekasihnya. Terakhir kali ketika ku
melihatnya bersama Evie, teman sekelasku. Sepertinya ia sudah ganti
pacar lagi. Entah mengapa banyak gadis yang terpikat dengannya.
Apakah gara-gara rambutnya yang pirang mohawk itu?Yah, bukan
urusanku juga sebenarnya mengurusi hubungan si Playboy Marineford
ini.
Aku menuju gudang yang ada diatap sekolahku. Didepan
gudang itu terdapat matras lompat tinggi yang sudah tak dipakai ini.
Aku membersihkannya dari debu dengan jari-jariku. Kupandang sekitar
sekolahku dari atas, banyak siswa-siswa yang masih belum masuk kelas.
Dari ratusan siswa dibawah tak kutemukan Ren diantara mereka. Mungkin
ia sedang dikantor guru. Tiupan angin menghempaskan tatanan rambutku.
Seperti berada didepan kipas angin. Itulah momen yang kusuka. Hening,
dan hanya ada tiupan angin. Setelah itu aku berbaring terlentang
dimatras itu yang melipat kedua tangganku kebelakang untuk mengganjal
kepalaku. Awan-awan yang tadi pagi cukup gelap, kita telah hilang
menjadi awan putih yang disinari matahari yang cukup terik.
Sepertinya matahari ini bersinar terang gara-gara mendengarkan
pidato jean tadi. Hari ini sungguh melelahkan, terjadi hal-hal yang
terduga dalam hidupku. Mulai dari pembajakan bis, gadis pembaca
pikiran, mahluk aneh didalam jiwaku, berjalan kaki ke sekolah,
memimpin upacara hingga berkenalan dan berjabat tangan dengan putra
raja Britain. Mataku terasa berat yang kupejamkan keduanya..
aku berjalan disebuah lorong kelas yang sangat gelap.
Seperti lorong kelas ditiap lantai, tapi ruangan ini sungguh asing
bagiku. Aku tak pernah ke tempat ini. Kulihat cahaya kecil yang
banyak didepanku yang menerangi sebuah jalan untuk melangkah kedepan.
Cahaya lilin di tiap pinggir kiri dan kananku. Aku melangkah kedepan
dan berjalan diantara barisan lilin yang berbaris membentuk sebuah
jalan. Pandanganku terasa berat dan terasa ingin terpejam, namun tak
kuijinkan. Aku masih penasaran ditempat mana ini. Setelah beberapa
meter aku melangkah, di ujung lorong ini terdapat seuah benda besar
yang bersinar. Cahaya merah yang berkilauan dikegelapan.
Kurasakan benda itu menantikanku, seperti menantikan
kedatanganku setelah sekian lamanya. Saat ku mendekat benda itu
semakin terlihat jelas. Sebuah bongkahan batu raksasa berwarna merah.
Kira-kira ukurannya berdiameter 2 meter. Namun batu itu tampak tak
sempurna, ada beberapa bagian yang hilang diantaranya yang membuat
batu itu memiliki celah-celah berlubang, seperti diambil dengan
paksa. Aku teringat bahwa aku memiliki bongkahan batu merah yang
dititipkan kakek di bus tadi. Ku buka bungkusan putih yang ada
didalam tasku dan kucoba untuk menempelkannya dibeberapa celah-celah
berlubang itu yang memiliki ukuran yang pas dengan batu ini. Setelah
mencobanya beberapa kali, akhirnya kutemukan lubang yang pas dan
tiba-tiba cahaya merah tadi membuat ruangan ini menjadi terang,
bewarna merah. Semerah darah.
“Rowan! Bangun! Sampai kapan kau mau tidur ditempat
ini?” suara yang sangat kukenal. Saat kubuka mataku,ternyata
Shierly sambil mencubit kedua pipiku. Sakit seperti biasanya. Kulihat
sekelilingku. Dan ternyata aku masih diatap. Ternyata tadi hanyalah
mimpi. Mimpi yang aneh.
Aku menghela nafas sejenak. “sejak kapan kau
disini?'' tanyaku sambil menggosok-gosok kedua mataku.
“baru saja. Apa kau baik-baik saja? Kau sakit?”
kata Shierly sambil sedikit khawatir.
“tak apa Shierly. Mungkin aku terlalu lelah”
jawabku sambil bangkit berdiri.
“apa kau yakin? Jika kau sakit kau bisa tidur di uks,
buka di atap seperti ini” ucap Shierly menasihatiku sambil
mendorongku maju kedepan untuk turun ke lantai enam.
“Rowan, segeralah ke kelas. Miss Mondru sudah
menantimu.kau tahu jam berapa sekarang? Aku harus rapat dengan dewan
siswa lainnya.”
Kulihat jam tanganku, sduah menunjukan pukul 09.45. aku
terlambat 15 menit untuk kelas Miss Mondru. Miss Mondru adalah
pengajar yang sangat disiplin waktu.
“baiklah Shierly. Terimaksih sudah membangunkanku”
jawabku sambil mengusap-usap kepalanya.
“Baiklah Rowan, selamat tinggal.” Shierly
meninggalkanku sambil melambaikan tangannya.
Aku berjalan dilorong lantai enam. Kelasku ada disini
tepatnya kelas 11-B. Kelas yang berisikan 40 murid dan Shierly lah
sebagai ketua kelasnya. Meskipun sebagai ketua dewan siswa sekolah
Marineford, ia juga sangat bertanggungjawab terhadap kelas kami. Dan
ia cukup perhatian denganku sebagai sahabat sejak kecil.
Saat aku sampai didepan kelasku, ku berhenti sejenak.
Kulihat kaca yang terdapat dipintu kelasku, Miss Mondru sedang
berdiri didepan bersama dua orang siswa. Dua orang siswa yang memakai
seragam yang berbeda dengan seragam MarineFord dan sepertinya aku
mengenal mereka, karena aku berkenalan dengan mereka tadi pagi, Ren
dan Jean. Apa yang Jean lakukan dikelasku? Memberi pidato lagi? Lalu
apakah yang Ren lakukan? Membaca pikiran teman-teman sekelasku? Atau
pilihan buruk yang terakhir mereka menjadi teman sekelasku.
Ku beranikan diri untuk mengetuk pintu kelasku sebelum
masuk. Saat aku masuk melewati pintu kelas, Miss Mondru guru
pelajaran matematika ku kini menatapku. Aku tak berani menatap
matanya, sungguh mengerikan bagi para murid yang diajarinya. Ketika
aku hendak duduk dikursi tempat duduk ku, Miss Mondru memanggilku,
“Thomskin, siapa yang menyuruhmu duduk? Maju kedepan disampingku!”
teriak Miss Mondru..
teriakannya yang disertai dengan suara seraknya
membuatnya seperti seorang nenek sihir. Selain itu ia juga mendapat
julukan “killer” dari siswa-siswa Marineford. Aku maju kedepan
kelas, kulihat Jean melihatku dengan tersenym, sedangkan Ren menatap
pemandangan luar melalui kaca jendela seolah tak menganggap
kehadiranku. Kini aku berada didepan kelas bersama Miss Mondru paling
kiri, Ren, Jean dan aku. Kulihat teman-teman sekelasku tertawa pelan
namun tak bersuara sepertinya mereka takut dihukum oleh Miss Mondru
untuk menemaniku didepan kelas. Dari baris belakang, kulihat Jeff dan
Leo, sahabat yang bisa dibilang lumayan akrab denganku terlihat
senang dengan apa yang kualami. Meskipun aku asosial terhadap siswa
lain, namun Jeff dan Leo tak penah menyerah untuk membuatku bergabung
dengan mereka. Karena kegigihan mereka berdua, akhirnya aku menyerah
untuk berteman dengan mereka. Kami berteman sejak kelas satu dulu.
Jeff yang bertubuh tambun ini memiliki hobi yang aneh.
Ia sangat suka mengoleksi action figure superhero wanita . Entah apa
yang ada dipikirannya sehingga terobsesi mengoleksi barang semacam
itu. Tetapi Jeff adalah seorang yang setia kawan, dia selalu membantu
siswa-siswa lain yang kesulitan dalam belajar. Bisa dibilang dia
cukup pintar dan merupakan sainganku dikelas. Sedangkan Leo yang
bertubuh kurus yang selalu memakai kaus kaki polkadot adalah seorang
yang cerewet dan pandai berbicara. Ia sangat menyukai trik-trik sulap
namun semua triknya adalah trik yang pasaran dan mudah dilakukan oleh
semua orang. Bisa dibilang kami adalah trio aneh dikelas ini.
“Para siswa sekalian, kali ini kelas kita kedatangan
dua siswa pindahan baru. Ibu harap kalian bisa membantu mereka untuk
beradaptasi di sekolah ini. Nah, mari perkenalkan diri kalian.”
kata Miss Mondru kearah Ren dan Jean. Kelas sempat hening sejenak.
“Siapa dulu?” tanya Ren kepada Jean.
“Lady first,please.” jawab Jean sambil
mempersilahkan Ren.
Ren maju selangkah dari posisinya. Sambil menghela
nafas sebentar. “Perkenalkan, namaku Ren Misumi. Berasal dari
Yokohama, Jepang. Aku baru saja tiba di London sebulan yang lalu.
Senang bisa berkenalan dengan kalian semua. Kalian bisa memanggilku
Ren. Mohon bantuannya.” kata Ren sambil membungkukkan badan tanda
memberi hormat. Semua siswa memberi tepuk tangan sebagai salam hangat
atas kehadiran Ren dikelas ini. Tak terkecuali Miss Mondru, Jean dan
aku juga bertepuk tangan untuk menyambut Ren.
“Nah, Ren Misumi, silahkan duduk dikursi kosong yang
tersedia.” kata Miss Mondru dengan ramah.
“ Baik,bu. Terima kasih.” jawab Ren sambil berjalan
menuju kursi kosong yang tersedia. Dikelas ini terdapat 5 kursi yang
kosong. Ren duduk dibaris kedua dari belakang, atau persis
dibelakangku. Apa maksudnya? Apakah ia ingin membaca pikiranku setiap
hari?
“Selanjutnya Pangeran Jean, silahkan.” ucap Miss
Mondru mempersilahkan Jean.
“Terima kasih, bu. Mohon maaf tolong jangan panggil
saya pangeran disini, cukup Jean saja.” kata Jean tersenyum kearah
Miss Mondru. Miss Mondru tampak salah tingkah seperti Mr. Robson .
Aku ingin sekali tertawa sekeras-kerasnya melihat ekspresi wajah Miss
Mondru . Jean maju selangkah kedepan dan hening sejenak.
“Perkenalkan nama saya Jean Pierre Harrison V. mulai
saat ini kita adalah teman. Jadi kalian bisa panggil aku Jean saja.
Oke? Dan jangan ragu dan sungkan terhadapku. Dan aku harap
teman-teman sekalian bisa membantuku agar terbiasa dengan sekolah
ini.” kata Jean disambut dengan tepuk tangan yang sangat meriah
melebihi tepuk tangan yang diterima Ren tadi.
“Baiklah Jean, silahkan duduk ditempat yang
tersedia.” kata Miss Mondru dengan tepat. Ia tidak mau dipermalukan
lagi. Jean memilih bangku kosong yang ada disebelahku. Gawat.. kenapa
sekelilingku adalah orang-orang seperti ini? Aku menjadi tak percaya
diri dan merasa tak pantas duduk bersebelahan dengan Jean.
“ Baiklah kita mulai pelajarannya. Rowan, kau tetap
berdiri disini sampai jam istirahat nanti!” perintah Miss Mondru.
“ Apa? Bukankah itu terlalu lama?” protesku dengan
sedikit kesal.
“Sekali lagi kau protes, kau tak usah masuk
pelajaranku selamanya.” kata Miss Mondru sambil membetulkan
kacamatanya. Kata-kata Miss Mondru membuat semua ekspresi wajah
teman-teman sekelasku tak bisa untuk menahan tawa. Leo yang pertama
kali tak kuasa menahan tawa sehingga tertawa terbahak-bahak diikuti
seluruh siswa lainnya. Sepertinya mereka semua sungguh menikmati
pertunjukan ini. Jean hanya tersenyum kecil, sedangkan Ren tampakm
menatapku dengan pandangan kosongnya. Entah apa yang ada
dipikirannya. Beberapa detik kami saling bertukar pandang hingga
akhirnya Ren menundukan kepalanya.
Aku berdiri didepan pojok kelas samping papan tulis .
Karena bosan berdiri, aku menatap keluar jendela. Entah mengapa
mataku terpaku pada mobil volkswagen hijau yang terparkir dihalaman
sekolahku. Seorang Pria tua memakai setelan baju tradisional china,
turun dari mobil itu. Dibelakangnya tampak seorang pemuda berambut
hitam pendek dan berwajah khas china mengawal pria tua itu.wajah
pemuda itu begitu dingin. Ketika memperhatikannya, tiba-tiba dia
melihat kearahku dengan tatapan mata yang tajam. Apakah ia sadar
bahwa sedang kuperhatikan? Padahal jarak kami cukup jauh dan aku
berada didalam kelas. Siapakah pemuda itu?
TO BE CONTINUED TO CHAPTER SEVEN-----
Share
0 komentar:
Posting Komentar