Saat
aku berusaha mengingat-ingatnya, ternyata aku pernah melihatnya di
layar televisi.
jika
tak salah ia adalah Pangeran Jean Pierre Harrison,
putra
dari raja Britain ini...
yang
selalu mengalahkan lawan bicaranya dalam sidang parlemen negara.
Ia
mendapat julukan Manusia Nobel Perdamaian,
Si
Juru Diplomatik!
Chapter 5 : The Ceremonial
Pangeran muda ini berpakaian begitu formal dalam
menghadiri upacara untuk mengenang jasa pamannya. Ia mengenakan
kemeja dan celana bahan panjang warna putih, dihiasi dengan bros
lambang kehormatan kerajaan Britain yang terpasang rapi di kemejanya
ini. Bila kuhitung, terdapat 10 bros lambang dari kerajaan
dipakainya. Mengingat ia sudah berjasa bagi kerajaan Britain dalam
hal diplomatik dengan negara-negara lain. Hal itulah yang membuatku
kagum, diusianya yang sangat masih muda atau mungkin seumuranku, ia
sudah berjasa besar bagi negara yang menganut sistem monarki ini.
Seandainya aku menjadi dia, berambisi untuk mencapai kehidupan yang
mewah pun tak ada gunanya lagi. Karena semua yang diinginkannya pasti
sudah dimiliki.
Teriakan Shierly memecahkan lamunanku tentang si
pangeran muda, ia memanggilku untuk menghampirinya di tenda panitia.
“Kemana saja kau Rowan? Seharusnya kau sudah disini
sejak pukul tujuh tadi untuk latihan terakhir. Dan sekarang kau
datang jam berapa, Rowan?” kata shierly sambil menunjukkan jam
tangan pink nya kehadapanku.
Kulihat pipinya menggembung seperti cemberut. Namun
itu sudah biasa. Meskipun ia marah , kemarahannya hanya sesaat
karena aku tahu sifat Shierly sejak kecil. Hanya dengan minta maaf
sambil tersenyum bodoh pasti aku dimaafkannya. Itu adalah jurus jitu
untuk menghadapi Shierly yang sedang marah.
”hehe..maafkan aku Shierly. Tadi aku bangun kesiangan
gara-gara semalam menonton liga britain” jawabku berbohong sambil
mengusap-usap kepala Shierly dengan tertawa kecil. Kulihat jean
Pierre yang disampingnya tampak memandangku dan tersenyum kecil atas
tingkahku.
“Sudahlah Shierly, yang penting sahabatmu ini datang
sebelum upacara dimulai kan?” kata jean membelaku. Shierly pun
mengangguk sebagai tanda bahwa ia telah memaafkanku. Aku sungguh
berterimakasih kepada pangeran muda ini dengn tersenyum lebar
kearahnya.
“Halo, kau Rowan Thomskin kan? Daritadi Shierly
menceritakanmu. Hmm.. perkenalkan aku Jean Pierre Harisson V . cukup
panggil aku Jean saja agar kita lebih akrab.” Lalu Jean sambil
mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Aku terkejut atas uluran
tangannya. Seharusnya rakyat biasalah yang harus memberi salam dengan
aturan yang berlaku jika bertemu dengan keturunan Raja. Sebuah salam
sebagai bentuk kehormatan atas keturunan raja.
Aku bergegas membungkuk dan menundukan kepalaku serta
tangan kananku meraih uluran tangan pangeran muda itu dengan formal.
“Perkenalkan hamba, Pangeran Britain Jean Pierre Harisson V, saya
Rowan Thomskin dari London. Saya selalu mengabdi terhadap kedigdayaan
dan kejayaan Britain demi kemakmuran abadi.”ucap salamku sambil
bangkit berdiri.
Ucapan salamku kulakukan dengan sepenuh hati, seperti
seorang ksatria yang mengabdi sepenuh jiwa kepada Rajanya. Salam itu
sudah harus dipelajari ketika anak-anak mulai duduk dibangku sekolah
dasar dalam pelajaran “Tata Bahasa dan Norma”.
“haha.. tak perlu seformal itu , Rowan. Salam itu
hanya pantas diucapkan untuk ayahku, bukan pada diriku. Jadi, jangan
terlalu kaku begitu ya.. terimakasih atas salammu itu.” balas Jean
sambil menepuk pundakku.
Tingkah laku Jean membuatku terkejut untuk kedua
kalinya. Sebagai seorang keturunan raja, ia sama sekali tidak anguh
terhadapku yang hanyalah rakyat biasa. Seandainya ia mewarisi tahta
raja dari ayahnya, ia pasti akan didukung sepenuh hati oleh seluruh
rakyat Britain tanpa terkecuali.
“Untung ada Jean,Rowan kali ini kau bebas dari
hukuman. Berterimakasihlah kepada Jean” . Shierly tersenyum sambil
menjewer telingaku. Bagiku jeweran ini adalah hukuman bagiku. Jeweran
Shierly terkenal mematikan bagi anak yang melanggar peraturan di
sekolah. Jean pun tampak mengangguk dengan tertawa pelan, sedangkan
aku tertawa bodoh sambil meringis kesakitan.
Suara Lonceng akademi Marineford yang berada didepan
atas lantai 6 itu bergema. Suara lonceng itu memecahkan semua
aktivitas kami sebelum upacara dimulai. Lonceng emas yang cukup besar
itu berbunyi lima kali, menandakan ada sebuah acara khusus, seperti
upacara. Bila lonceng berbunyi tiga kali, menandakan kegiatan belajar
telah usai. Aku yakin semua siswa lebih suka lonceng berbunyi tiga
kali daripada lima kali. Suara lonceng itu menghentikan pembicaraan
kami bertiga. Shierly menyuruhku masuk ke dalam tenda panitia untuk
bersiap-siap sedangkan ia bersama Jean berjalan menuju bawah panggung
upacara dimana kepala sekolah yang pengajar lainnya menunggu.
Aku masuk kedalam tenda, kulihat sebuah atribut dan
topinya yang sengaja dipindahkan Shierly keatas meja sehingga
memudahkanku untuk mencarinya. Kupakai atribut hiasan diseragamku,
dan kupakai topi hitam anggota pemimpin barisan. Topi tinggi hitam
itu cukup sulit memasangnya, karena tinggi, topi itu harus diikat
dibawah daguku agar tak jatuh. Setelah semuanya telah siap terpasang
ditubuhku, segera kukeluar tenda dan menyusul para pemimpin barisan
lainnya yang tampak sudah bosan menungguku.
“Lain kali kau tak usah datang saja, Thomskin”
sindir Hans, teman seangkatanku yang berbeda kelas. Sepertinya dia
cukup jengkel karena aku tidak datang tepat waktu.
“maaf,Hans.” jawabku singkat.
“Sudahlah,Hans. Maafkan saja dia. Kita harus kompak.
Ya kan Rowan?” sambung Derrick kakak kelasku yang selalu
menenangkan suasana. Mungkin karena ia paling senior diantara kami.
“kuharap begitu. Semoga saja Thomskin tidak akan
menggagalkan semuanya.” gerutu Hans dengan mencibirkan bibirnya.
Para siswa sudah berbaris sejak tadi menunggu kehadiran
kami para pemimpin baris. Kami bertiga berjalan dengan hentakan kaki
yang seirama dengan cukup keras ke tanah sambil membusungkan dada,
menandakan kami telah siap memulai kegiatan upacara ini. Pemimpin
barisan terdiri dari tiga orang, setiap pemimpin bertugas memimpin
dan menjaga ketenangan tiap baris yang menjadi tanggungjawabnya. Kami
masuk dari sisi kanan lapangan, Hans berhenti di sisi kanan. Ia
bertugas menjaga barisan anak kelas 1. Sedangkan aku berhenti
dibarisan tengah yang bertugas menjaga siswa kelas 2. sedangkan
Derrick berjalan hingga ujung kiri untuk menjaga barisan siswa kelas
tiga.
Barisan yang kupimpin adalah teman-teman seangkatanku
yang jumlahnya bisa mencapai seratus lebih. Mereka berbaris lurus
memanjang kebelakang sesuai gendernya. Sedangkan di belakang barisan
siswa, terdapat guru pengawas yang bertugas menjaga ketertiban siswa.
Yang paling mencolok adalah Mr.Brown , guru olahragaku yang sering
memberi hukuman konyol kepada para siswa yang berisik yaitu berdiri
dengan satu kaki. Mr.Brown memiliki tubuh yang besar dan kekar.
Menurut gosip yang beredar disekolah, dulu sebelum menjadi guru
Mr.Brown adalah seorang atlet tinju. Namun aku tak mendengar namanya
ditelevisi. Mungkin dia hanya petinju biasa yang sering kalah di ring
sehingga tak terkenal. Tetapi tak ada seorang siswa pun yang berani
menentangnya disekolah ini kecuali orang yang bodoh. Bisa jadi dia
adalah guru yang paling ditakuti seluruh siswa disekolah ini.
Pembina upacara kali ini adalah kepala sekolah kami,
Mr.Robson. Beliau tampak naik ke panggung upacara yang dari kemarin
telah disiapkan oleh para pekerja kebersihan sekolah ini. Mr.Robson
naik ke panggung lalu diikuti oleh Pangeran Jean , seorang pria
berbadan besar berpakaian rapi ( mungkin dia pengawal pangeran) lalu
Shierly sebagai ketua dewan siswa dan disambung oleh para pengajar
lainnya. Setelah mereka semua sudah berada dipanggung, aku
membalikkan badanku kearah teman-teman seangkatanku. Kami bertugas
menyiapkan barisan untuk memberikan hormat kepada pembina upacara.
Aku cukup canggung melihat tatapan mata teman-temanku yang berjarak
kurang lebih tiga meter dihadapanku. Mungkin mereka menertawakanku
dalam hati, melihat siswa asosial yang jarang bersosialisasi memimpin
barisan upacara ini. Ini semua gara-gara Shierly.
“Semua barisan,Siap Gerak” teriak kami bertiga
bersamaan dengan penuh wibawa kearah tiap barisan yang kami jaga.
Segera para siswa itu mengambil sikap siap setelah daritadi hanya
sikap istirahat. Dari ratusan siswa yang berada dibarisanku kulihat
seseorang yang mencolok. Siswi berambut hitam panjang dengan seragam
yang berbeda sendiri.
Itu Ren. Ren Misumi yang memiliki kekuatan Break
pembaca pikiran berada disela-sela siswa putri lainnya yang jauh
lebih tinggi darinya. Ia tampak melihat lurus kedepan. Seperti
melihatku, tapi menurutku ia lebih mungkin melihat Jean yang sedang
berdiri diatas panggung disamping Mr.Robson. Mungkin ia mencoba
membaca pikiran Jean, kekasih seperti apakah yang diidamkannya.
Seandainya para siswi disini memiliki kekuatan membaca pikiran, pasti
mereka akan mencari tahu siapa wanita idaman Jean. Jean memang
sempurna, tak hanya kaum hawa yang memujanya, namun kaum adam juga
memujanya sebagai sosok pemimpin masa depan yang berwibawa dan
penerus raja Britain ini. Sungguh tak ada celah sedikitpun didalam
dirinya.
Mr. Robson tampak maju kedepan mendekati mimbar
berhiaskan taplak warna biru laut kebanggan MarineFord. Beliau tampak
membetulkan mikrofon yang ada diatas mimbar itu agar tepat didepan
bibirnya untuk memulai sambutannya.
“Selamat
pagi siswa Marineford College. Para staf pengajar dan yang saya
hormati, tamu kehormatan kami Pangeran Jean Pierre Harrison V. pagi
ini kita semua berkumpul disini untuk mengenang jasa Raja kita yang
terdahulu, Raja Clovis Hannes Harrison yang gugur demi membela
kedamaian dan martabat bangsa Britain ini.” kata Mr.Robson dengan
tubuh tambunnya yang ditegakkan.
”Sebelum kita memulainya mari kita nyanyikan lagu
kebanggaan sekolah kita” lanjutnya.
Iringan musik pasukan upacara ini dimulai. Tim pengiring musik yang
berasal dari klub musik mulai memainkan alat musiknya masing-masing.
Semua siswa mengangkatkan dagunya keatas dan menatap lambang
Marineford dibawah lonceng emas sekolahku. Tangan kanan mereka
mengepal dan diletakkan ke atas dada kiri mereka masing-masing.
Dengan sikap hormat, kami menyanyikan lagu kebanggaan sekolah kami,
Mars
Marineford.
We are the Marineford Students
the biggest family in world
We are the Marineford Students
Glory in the way with us
We are the Marineford Students
Stand here for a better future
with love and pride
spread our wings to chase our dreams
with heart and smile
keep struggle to chase our world
Setelah selesai menyanyikan Mars Marineford, Mr.Robson
melanjutkan pidatonya tentang sejarah kepahlawanan bangsa Britain
hampir setengah jam. Kudengar suara siswa dibelakangku menguap karena
lamanya pidato yang disampaikan Mr.Robson.
“Oleh karena itu, kita sebagai penerus bangsa ini
mari lanjukan perjuangan mereka dengan memajukan bangsa Britain.”
kata Mr.Robson menyudahi pidatonya.
“Pada kesempatan ini, kita kedatangan tamu
kehormatan yang akan menyampaikan kata sambutannya, mari kita
persilahkan, Pangeran Jean Pierre Harrison V“ kata Mr.Robson sambil
menyilahkan Jean untuk maju ke mimbar yang digunakan Mr.Robson.
Jean maju ke mimbar dengan penuh kesiapan. Ia berjabat
tangan dengan Mr.Robson sambil tersenyum sebelum mengisi meja mimbar
yang ditinggalkan Mr.Robson. Jean hening sejenak, sambil membetulkan
dasi kupu-kupu hitam dibawah lehernya.
“Selamat pagi Kepala sekolah akademi Marineford,
para pengajar serta teman-teman yang saya cintai. Terimakasih atas
waktu yang diberikan kepada saya. Waktu yang begitu berharga dalam
kehidupan saya.” kata Jean membuka sambutannya.
“ Saya berdiri disini untuk menyampaikan harapan dan
keinginan bangsa Britain terhadap kalian, para penerus bangsa ini.
Sebelumnya saya harap teman-teman tidak perlu begitu formal terhadap
saya, karena saya disini sebagai siswa baru MarineFord, dan sebagai
teman anda semua.” Mata Jean tampak berbinar-binar.
Semua
siswa begitu ramai karena terkejut sekolah mereka menerima siswa
baru, seorang Pangeran. Kehadiran Jean bisa meningkatkan popularitas
sekolah ini, mungkin itu yang dipikirkan Mr.Robson .
“dan juga untuk Mr.Robson, tak perlu memanggil saya
dengan pangeran. Cukup panggil saya Jean.” kata jean sambil menoleh
tersenyum kearah Mr.Robson.
Mr.Robson pun sempat salah tingkah dibuatnya. Jean
menyampaikan sambutannya selama beberapa menit, semua siswa
dibelakangku tampak tak bersuara karena begitu serius mendengarkan
Jean yang pintar berbicara. Itu adalah keahlian Jean sehingga
mendapatkan nobel perdamaian dari PBB.
“Sebagai bangsa Britain yang menjunjung tinggi rasa
perdamaian dan martabat bangsa ini, kita sebagai penerus bangsa ini
diwajibkan untuk mengerahkan segenap jiwa dan raga untuk membela
tanah air kita ini. Mari kita tingkatkan kualitas bangsa kita.
Taklukanlah dunia dan kuasailah itu!” seru Jean berkobar-kobar
sambil membentangkan kedua tangannya kearah kami. Seperti mengangkat
kami dari dasar belenggu rantai kehidupan menuju permukaan mimpi yang
tak terbatas.
Semua siswa yang hadir di upacara ini begitu
tercengang mendengar perkataan jean. Para siswa yang hanya belajar
pelajaran ini tak pernah berpikir sama sekali untuk menaklukan dunia.
Semua peserta upacara memberi applause yang meriah serta siulan untuk
memuji perkataann Jean itu. Semangat kami mulai terbakar seperti
semangat pasukan yang akan pergi berperang, berperang untuk
menaklukan dunia dan menancapkan bendera Britain di seluruh permukaan
bumi. Tak kusangka Jean yang berkepribadian baik dan sopan itu,
ternyata harus memikul beban yang berat sebagai keturunan raja bangsa
ini. Ambisi seperti apakah yang ada pada dirimu Jean?
Chapter Five : The Ceremonial -END-
To be Continued to Chapter Six-
Share
0 komentar:
Posting Komentar