Betapa
kagetnya aku,
sebuah
bongkahan batu kristal bewarna merah,
berkilauan seolah bintang yang baru saja jatuh
kebumi.
Dibawah batu itu terdapat secarik kertas yang
bertuliskan
“piece
of Ifrit Stone”
Chapter 4 : Walking in The Silent
Kilauan batu merah ini sangat indah. Membuat setiap
mata yang melihatnya ingin memiliknya. Bongkahan batu yang hanya
selebar telapak tanganku itu kembali kubungkus dan kumasukan ke dalam tas
ku agar tidak menimbulkan kecurigaan bagi orang lain. Gadis rambut
panjang itu kini memperhatikanku .
“Apakah
kau tahu batu itu? Itu batu yang sedang kucari. Untuk sementara ini
kubiarkan kau menyimpannya.”
kuamati gadis itu dari atas hingga bawah. Seorang gadis
yang berambut hitam panjang sepunggung, dengan poni yang menyamping
kekiri tipis diatas matanya yang bertatapan tajam. Bila kuperhatikan
wajah gadis ini, mungkin ia berasal dari Asia. Ia mengenakan seragam
putih berkerah sailor dengan rok hitam diatas lututnya. Kaus kaki
hitam yang panjang menutupi kakinya hingga lututnya. Penampilannya
sama sekali tidak menunjukan bahwa ia menguasai ilmu beladiri,apalagi
pembaca pikiran.
“apa
yang kau lihat? Aku sedang malas membaca pikiranmu. Terlalu
menjijikan.” gadis itu mengejek untuk kesekian kalinya.
“baiklah,nona. Terserah kau mau bilang apa tentang
diriku. Tapi sebelumnya aku ucapkan terimakasih. Atas bantuanmu
sehingga aku memiliki kekuatan ini. Tapi siapakah namamu?bisakah kau
memperkenalkan diri? Aku tak bisa membaca pikiran sepertimu.”
tanyaku dengan sedikit menyindirnya.
Gadis itu diam sejenak, lalu duduk dibangku tempat
halte kami turun tadi. Ia tampak membungkukan setengah badannya dan
menyangga kepalanya dengan kedua tangan yang dilipatkan seperti
berdoa. Sepertinya ia cukup lelah. Hal itu dapat dilihat dari bola
matanya yang sayu menatap langit dipagi ini yang tak begitu cerah,
atau hampir mendung. Seperti menantikan rintikan hujan yang tak
kunjung tiba. Ia menghela nafas sejenak.
“Namaku Ren. Ren Misumi. Aku baru pindah ke London
sekitar sebulan yang lalu. Apakah itu cukup?” jawabnya sambil
menoleh kearahku.
Tenyata gadis ini bernama Ren, sepertinya ia berasal
dari jepang, kulihat dari tas ranselnya yang terdapat huruf kanji.
“apakah yang kau lakukan disini? Apakah tentang
break?” ucapku penasaran.
“Bukan. Aku sedang ditugasi untuk memata-matai kakek
itu. Terutama batu merah tadi. Tapi tak kusangka aku bisa menemukanmu
yang ternyata berpotensi memiliki break sepertiku. Mungkin ini bonus
dari pekerjaanku. Yang penting, misiku ini sudah selesai. Yaitu
memastikan batu itu aman. Rowan, tolong jangan tunjukkan batu itu
kepada siapapun.” pinta Ren.
“dan
aku akan melanjutkan mengawasi kakek itu. Mungkin dia memiliki
informasi tentang batu itu. Lagipula ternyata yang mengincar batu itu
tidak hanya organisasiku.” matanya kini menatapku tajam.
“baiklah. Ini kartu nama kakek tadi. Namanya Ben
Hudson” jawabku sambil menyerahkan kartu nama kakek itu. Ren tampak
terdiam sambil menerawang lalu lintas yang sudah mulai padat oleh
kendaraan.
“oh iya.. bukannya kau hari ini bersekolah? Kau ada
upacara bukan?'' tanya Ren. Aku terkejut. Aku baru ingat bahwa
sebentar lagi aku memimpin barisan upacara.
Dan
ketika kulihat jam tanganku, jam menunjukan pukul 07.55 . lima menit
lagi? Jarak jalan ini dengan sekolahku sekitar 3km. Jika berjalan
kaki memakan waktu 15 menit paling cepat. Tapi kalau berlari, mungkin
10 menit kurang. Tapi mustahil bagiku untuk berlari. Mana mungkin aku
memimpin upacara dengan tubuh basah penuh keringat dengan nafas yang
hampir putus? Bisa-bisa aku ditertawakan oleh seluruh siswa
disekolahku.
“hei.. bagimana bisa kau tahu aku ada upacara? Kau
membaca pikiranku lagi ya? “ tanyaku mengintimidasi.
“dasar bodoh. Kau siswa akademi Marineford kan?
Ada lambang sekolah diseragammu. Dan aku hari ini juga bersekolah
disitu. Jadi tujuan kita sama, kesekolah.” jawan Ren dengan
sedikit tertawa atas kebodohanku.
Aku sedikit malu atas kebodohanku. Namun itu tidak
penting. Yang penting sekarang adalah bagaimana aku bisa menuju
kesekolah dengan cepat tanpa terlambat. Aku hampir lupa, Bahwa aku
memiliki break. Kekuatan yang dapat menghentikan waktu. Sungguh
beruntungnya aku kekuatan ini berguna disaat penting seperti ini.
“Ren, maukah kau ikut aku kesekolah? Anggap saja
balas budi dariku” kataku tersenyum sambil mengulurkan tanganku.
Ren tampak terkejut oleh tindakanku. Sepertinya ia tak membaca
pikiranku. Wajah Ren tampak memerah dan menundukan kepalanya dengan
mengganguk pelan tanda setuju.
Setelah kami bergandengan tangan, aku menggunakan
break-ku, Breaking Time. Cahaya hijau tampak keluar menyebar dari
tubuhku. Cahaya itu menyebar dengan cepat. Setiap tempat yang
terlintasi oleh cahaya itu menjadi suatu ruang hampa, dimana waktu
dan sesuatu yang bergerak terhenti. Tampak kendaraan yang lalu lalang
dijalan raya berhenti,hening dan sunyi. Tak ada suara klakson-klakson
bising yang bersuara seperti biasanya. Tampak juga asap dari truk
menggempal berbentuk seperti awan hitam menjadi suatu bentuk yang
padat, dan tak bergerak. Kucing yang daritadi bermain dengan
kupu-kupu juga tampak tak bergerak, padahal posisi kucing itu sedang
melompat keatas namun tak jatuh.
Kupandang langit-langit diatas kepalaku, burung-burung
kecil yang berterbangan tampak berhenti, namun juga tak jatuh.
Kehampaan seperti inilah yang kadang-kadang merupakan kebahagiaan
kecil dalam hatiku. Kupandang Ren yang masih menunduk, mungkin dia
masih malu.
“Ren, kau ingin berjalan atau berlari?” tanyaku
melunakkan suasana.
“terserah kau saja. Lebih cepat lebih baik. Tapi
jalanpun tak masalah sih.” jawabnya yang menimbulkan pertanyaan
ambigu dipikiranku.
“baiklah kita jalan saja. Aku sudah lelah dengan
kejadian pagi ini. Dan aku tahu kau pun pasti lelah.” jawabku
smabil berjalan, namun masih bergandengan tangan.
“Ren, apakah kau mendengarkanku berbicara dengan
seseorang saat aku berada didalam jiwaku?” tanyaku tanpa menoleh
kekanan, dimana Ren kini berada disamping kananku.
“tidak.
Aku kehinlangan kontak denganmu saat kau memasuki pintu hitam. Jadi
kau sudah bertemu dengannya? Seperti apakah dia?” tanya Ren tanpa
menoleh kearahku juga.
“oh.. jadi kau tahu tentang suku nirvith didalam
jiwaku? Dia bernama Tulo. Seorang yang berbadan tinggi, berambut
putih dengan sepasang sayap putihnya. Baru kali ini aku melihat
mahluk seperti itu.” jawabku bersemangat.
“ Oh.. Jadi namanya Tulo? Didalam jiwaku juga ada
seseorang dari suku Nirvith. Namanya Velka. Dia sangat cantik. Dulu
dia seorang pejuang wanita disukunya ketika perang'' kata Ren. Kali
ini ia tampak lebih terbuka denganku.
“apakah kau sering berinteraksi dengannya? Bagaimana
aku bisa berbicara dengan Tulo lagi?”
“Jika aku, aku memusatkan pikiranku terhadap mataku
seperti menggunakan break, tapi tujuannya masuk kedalam jiwaku. Dan
disaat aku berinteraksi, itu tidak memakan waktu didunia ini.” kata
Ren menjelaskan dengan detil.
Aku ingat kata Tulo, bahwa tadi ia menjelaskan bahwa
didalam jiwa tidak terdeteksi oleh dimensi waktu. “Oiya, aku ingin
bertanya lagi.” pintaku.
Tanpa kusadari kami berjalan dengan lambat. Tidak
seperti saat kuajak dia bergandengan tadi, langkah kami sungguh cepat
karena kami masih saling malu-malu. Tapi saat ini kami sudah semakin
akrab, itu menurutku.
“aku
ingin bertanya sesuatu. Tadi ketika aku berada didalam jiwaku, kau
bilang bahwa kau dan yang lainnya membutuhkan kekuatanku. Siapakah
yang lainnya itu? Apakah organisasimu mengetahui tentang break?”
Kali ini aku menoleh kearahnya. Ren pun juga menoleh kearahku.
Seperti ada sesuatu tarikan yang membuat kami saling menatap.
Mata kami bertatapan sepersekian detik. Seperti kedua
kutub magnet yang saling bedekatan namun berusaha untuk menjauh,
meski kami kini berada di area hampa waktu. Wajah Ren tampak manis,
atau bahkan cantik. Baru kali ini aku berbicara dekat secara langsung
dengan wanita selain Shierly, yang selalu mencubit pipiku ketika
kutertidur dikelas. Kedekatanku dengan shierly pun sering membuat
siswa laki-laki lainnya cemburu. Mereka tak habis pikir kenapa
seorang siswa berbakat dan terkenal seperti Shierly bisa begitu dekat
denganku yang kurang bersosialisasi dengan teman-teman sekolahku.
Namun hubunganku dengan Shierly hanyalah sahabat sejak kecil. Ketika
aku berumur lima tahun aku bertetangga dengan Shierly. Ayahku sering
menitipkanku ke rumah Shierly ketika beliau hendak pergi bekerja.
Shierly pun tinggal bersama ayahnya dan pengasuh yang sering
mengurusku juga. Kami serasa seperti saudara. Pernah ketika ku duduk
di bangku sekolah dasar, aku merayakan ulang tahun bersama Shierly
dengan sebuah kue tart dengan nama kami berdua. Kami serasa seperti
seorang kembar. Karena aku dan Shierly lahir pada tanggal yang sama.
Itulah hal yang tak terlupakanku tentang Shierly.
Mata Ren tampak melototiku,”Apa yang kau lihat?kau
pikir macam-macam lagi?” dengan sedikit marah seperti anak kecil.
“hmm.. kau benar. Yang lain yang kumaksud itu adalah
organisasiku. Sebuah organisasi yang mendalami kasus diluar logika
seperti ini. Dan rahasia tentang negaramu ini,Rowan.” kata Ren
sambil memandang baliho gambar bendera Britain diantara gedung-gedung
megah ini. Ren memandang gambar bendera Britain seperti berusaha
mencari kebenaran yang disembunikan Britain, negaraku ini. “Rahasia
apa maksudmu?” tanyaku keheranan sambil ikut memandang baliho
gambar bendera Britain.
“Suatu saat nanti aku akan menceritakannya padamu.”
jawab Ren seperti memberi janji yang pasti akan ditepatinya.
“baiklah,
Akan ku tunggu janjimu. Dan aku akan membantumu semampuku.” ucapku
seraya memberi janji juga terhadap Ren.
Tak terasa perbincangan kami yang sangat akrab harus
segera berakhir. Perbincangan kami sudah mengantarkan kami ke depan
pintu gerbang sekolahku. akademi Marineford. Sekolah menengah keatas
yang cukup terkenal di London ini memiliki pintu gerbang tinggi yang
bercat keemasan, dihiasi jeruji yang berujung mata tombak. Seperti
sebuah pintu gerbang kastil kerajaan pada cerita jaman dahulu. Tiang
kiri kanan yang mengapit pintu gerbang sekolahku dihiasi oleh
ukiran-ukiran bunga yang indah. Dan diatas kedua tiang itu terdapat
patung singa yang mengaum dengan gagahnya, menunjukan kesan megah dan
glamour bagi sekolah lain. Serta memberi tekanan bagi sekolah lain
yang akan bertanding basket dengan sekolah kami dalam kegiatan
tertentu. Tapi sebenarnya siswa disekolah ini adalah siswa yang
bersahaja. Mereka tidak pernah tampil mencolok seperti sekolah
favorit lainnya, meskipun ada beberapa oknum disekolahku yang seperti
itu. Namun oknum-oknum itu bisa dihitung dengan jari.
Dari luar gerbang tampak terlihat kolam air mancur
dengan tiga patung dolphin yang menghiasinya. Kolam yang berada di
dalam halaman sekolahku itu didesain oleh siswanya sendiri, atau
mungkin peninggalan alumni siswa Marineford. Sekolah yang memiliki
warna kebanggaan biru laut ini memiliki fasilitas yang cukup lengkap,
seperti kolam renang, lapangan basket,sepakbola dan baseball.
Terdapat pula ruangan berkebun bagi mereka yang mencintai tanaman.
Gedung sekolahku yang memiliki tujuh lantai yang termasuk atap
sekolah, terlihat tinggi kokoh bila kulihat dari luar. Akhirnya harus
kusudahi kebersamaanku dengan Ren saat ini. Karena tak mungkin aku
masuk ke sekolahku dengan bergandengan tangan seperti layaknya orang
berpacaran. Atau bisa-bisa aku menjadi topik hangat di sekolahku ini
dengan judul “Orang kuper memiliki pacar siswa baru”.
“Ren, kita sudah sampai. Aku senang bisa berkenalan
denganmu. Bila kau butuh sesuatu, kau bisa menghampiriku di kelas
11-B. Di lantai enam.” kataku memberi instruksi.
“Baiklah. Aku mengerti,Rowan. Terima kasih. Bisakah
kau nonaktifkan break-mu sekarang?”
Sepertinya ia sudah bosan bergandengan denganku. Ku
nonaktifkan break-ku, waktu mulai berjalan kembali. Hal itu dapat
kurasakan dari hempasan angin yang dari tadi tak bergerak. Ren
langsung melepaskan genggaman tanganku dan kami berdua memasuki
gerbang sekolah bersama siswa-siswa lainnya. Kami terpisah diantara
puluhan siswa yang masuk ke gerbang sekolah. Jumlah mereka semakin
banyak ketika jam berjalan menuju ke angka delapan. Ren pun tak
terlihat lagi di antara kerumunan siswa-siswa ini.
Kulihat siswa-siswa sudah mulai berkumpul dilapangan
sekolah untuk mengikuti upacara. Upacara untuk mengenang jasa Raja
Clovis Hannes Harrison. Yang gugur dalam misi perdamaian di wilayah
Asia pada 17 tahun tahun yang lalu. Upacara ini selalu diperingati
setiap tanggal 25 Maret. Kudengar ada suara yang memanggil namaku
berulang kali. Saat kuperhatikan sekelilingku, kulihat Shierly
melambai-lambaikan tangannya dari tenda bagian panitia upacara yang
bermaksud untuk memanggilku untuk menghampirinya. Dan betapa
terkejutnya aku, di samping Shierly terdapat seseorang yang
sepertinya wajahnya tak asing bagiku. Seorang pemuda seumuranku yang
berambut pendek pirang keemasan, wajahnya bersih bak seorang
bangsawan.
Saat aku berusah mengingat-ingatnya, ternyata aku
melihatnya di televisi. Bila tak salah ia adalah Pangeran Jean Pierre
Harrison, putra dari raja Britain ini... yang selalu megalahkan lawan
bicaranya dalam sidang parlemen negara. Ia mendapat julukan Manusia
Nobel Perdamaian, si Juru Diplomatik!
Chapter Four : Walking in The Silent -END-
To be Continued to Chapter Five-
Share
0 komentar:
Posting Komentar