NOVEL "BREAKERS" : CHAPTER SEVEN

Minggu, 13 April 2014


Ketika memperhatikannya,
tiba-tiba dia melihat kearahku dengan tatapan mata yang tajam.
 Apakah ia sadar bahwa sedang kuperhatikan?
Padahal jarak kami cukup jauh dan aku berada didalam kelas. Siapakah pemuda itu?

CHAPTER SEVEN : ARMS
            Malam ini aku kembali bermimpi, mimpi yang selalu menghantuiku ketika ku tidur. Suara wanita yang menyanyikan alunan nada sebuah lagu, kembali terdengar dengan jelas. Namun kali ini suara wanita itu  diselingi dengan tawaan canda ketika ia bernyanyi.  Seperti seorang ibu yang bersenda gurau dengan anaknya.  Beberapa saat kemudian, aku pun terbangun dari mimpiku itu. Mataku masih lengket sehingga sulit untuk kubuka, nafasku terasa berat, hal yang selalu kurasakan tiap kali saat aku bangun dari tidur. Otot-otot kakiku masih terasa pegal gara-gara kejadian kemarin. Kurasakan hari ini tak berbeda seperti kemarin. Aku masih  terlalu mengantuk untuk bangun pagi ini. Kucari jam weker yang mengganjal dibawah bantalku yang seharusnya berbunyi nyaring ketika aku bangun. Ternyata pagi ini aku bangun terlalu cepat, pukul 5 pagi. Tidak seperti biasanya aku bangun pagi seperti ini.

 
            Ku beranjak dari tidurku dan melakukan peregangan yang biasa kulakukan setelah bangun tidur untuk melemaskan tubuhku yang masih kaku setelah bangun tidur. kupandang cermin yang tergantung di tembok kamarku. Bercermin setelah bangun tidur adalah kebiasaanku. Entah sejak kapan kebiasaan itu dimulai.  Kuperhatikan wajahku yang masih kusut, dan kulihat lebih seksama lagi mata kananku yang terlihat biasa saja. Aku penasaran bagaimana mungkin Ren mengatakan mataku  berwarna hijau? Karena penasaran kucoba mengaktifkan break-ku. Aura cahaya hijau muncul dari tubuhku dan menyebar kesekelilingku.
            Kupandang cermin lagi, bola mataku kini bercahaya hijau metalik, seperti lampu hijau yang berkelap-kelip . Betapa indahnya bola mata yang kumiliki ini, selain indah memiliki kekuatan yang tak masuk akal.  Setelah beberapa menit terpana dengan keindahan mataku, ku nonaktifkan break-ku, dan ku melangkah menuju jendela kamarku, udara yang diluar cukup dingin sehingga membuat tubuhku menggigil. Tiupan angin pagi ini terasa menusuk tulang-tulangku. Sudah lama aku tak merasakan angin pagi hari sembari menantikan terbitnya matahari yang mulai terlihat.

            Setelah bersiap diri dan mengunci pintu kamar apartemenku, aku bersiap untuk bersekolah. Saat baru berjalan beberapa langkah, aku berpapasan dengan Bibi Ruth, tetangga sebelahku.
            “selamat pagi, bi” salamku terhadap bibi Ruth yang kelihatannya habis berbelanja di market.
            “Pagi, Rowan. Pagi sekali kau berangkat sekolah? Apakah aku salah lihat?” bibi Ruth tampak terkejut. Memang aku tak pernah sepagi ini berangkat kesekolah. Kulihat jam tanganku belum menunjukan pukul enam pagi.
            “ ya, Bi. Aku terbangun dan tak bisa tidur lagi. Jadi aku berangkat sekolah saja.” jawabku sambil tersenyum lebar kearah Bibi Ruth.
            “Oh.. Usahakan kau selalu bangun pagi ya agar tak terlambat. Oiya, tolong sampaikan pada ayahmu tagihan apartemen bulan ini sudah hampir tiba”  Bibi Ruth mengingatkanku.
            Semenjak ayahku bertugas diluar negeri, Bibi Ruth lah yang mengurus keperluan apartemen dan iuran lainnya. Apabila Bibi Ruth sedang memasak makan malam, ia tak pernah lupa menyuruh Bella, anaknya yang masih berusia 8 tahun untuk mengantarkan bungkusan makan malam ke apartemenku. Aku sungguh bersyukur memiliki tetangga yang menganggapku seperti keluarganya sendiri.
            “Iya Bi. Nanti ayah akan ku telpon.” kulambaikan tanganku untuk pamit dan  meninggalkan  Bibi Ruth yang tampaknya masih ingin mengobrol denganku.

            Hari ini aku berangkat kesekolah seperti biasanya, menggunakan bus umum. Hempasan angin pagi ini menemaniku dalam perjalanan menuju halte bus yang terletak tak jauh dari apartemen yang kutinggali, Apartemen Lotus. Tubuhku menggigil selama perjalanan, aku memang tak terbiasa dengan cuaca yang dingin. Mungkin itu sebabnya aku malas berangkat sekolah disaat pagi sekali. Kejadian pembajakan bus kemarin masih terngiang jelas dibenakku,apakah kali ini para penjahat itu akan menuntut balas terhadap Ren? Tapi sepertinya tak mungkin, karena para penjahat itu sudah dibawa ke kantor polisi. Entah mengapa mulai sekarang aku merasa trauma jika naik bus, padahal itu satu-satunya alat transportasi yang cukup efisien untuk sampai kesekolah. Lagipula sekarang aku memiliki kekuatan break, sehingga rasa takutku kini telah berubah menjadi rasa keberanian.
            Langkahku berhenti beberapa meter dari halte bus. Tampak hanya seorang penumpang yang menunggu bus di halte itu. Seorang gadis  berambut hitam panjang dengan setelan seragam biru laut dengan jas hitam dengan logo Marineford dilengan kanannya duduk dengan tenang dan elegan. Ya, Ren Misumi. Seorang pemilik kekuatan break yang mulai hari ini menjadi teman sekelasku tampak merapatkan kedua kakinya sambil memangku tas ranselnya. Ia tampak cantik dengan menggunakan seragam sekolahku.
            Ren menoleh kearahku yang masih mematung dan membuatku mau tak mau menghampirinya.
            “Morning, Ren. Kita bertemu lagi.” aku duduk di bangku sebelahnya. Ren tampak tersenyum atas sapaanku. “Pagi juga, Rowan. Aku tak menyangka kau bisa bangun sepagi ini” sindirnya sambil meletakkan tas ranselnya disela-sela bangku yang kami duduki.
            “Yah, mungkin ini efek dari break-ku.” Ren tampak tertawa geli dan aku pun ikut tertawa. Ren ternyata tak seperti yang kubayangkan. Saat pertama kali berbicara dengannya kukira dia seorang yang pendiam dan jutek. Tapi lama kelamaan sifat aslinya mulai terlihat meskipun ini merupakan hari kedua sejak berkenalan dengannya. Ren seorang yang ramah dan baik hati meskipun ucapannya kadang-kadang menyebalkan. Tapi, aku bisa merasakan bahwa dia kesepian, sama sepertiku. “Kau tinggal didaerah sini?”
            Ren mengangguk pelan.”Ya, aku tinggal diapartemen didekat sini.” ucapnya. Di apartemen? Apartemen didaerah sini cuma ada 1. yaitu apartemenku, apartemen Lotus. “Maksudmu apartemen Lotus?” aku memastikan jawabannya. “Untuk apa kau tanya-tanya? Iya tepat sekali.” jawab Ren sambil mengerutkan alis atas pertanyaanku tadi. Aku sungguh tak menyangka bahwa Ren tinggal di apartemen yang sama denganku. Tapi sejak kapan? Aku ingin menanyakan hal ini namun kuurungkan niatku. Pasti dia akan menjawab dengan perkataan yang pedas. Aku mulai merasa yakin bahwa Ren sepertinya benar-benar menguntitku. “kau tak membaca pikiranku kan? Aku juga tinggal di apartemen Lotus .”
            Ren menghela nafas sebentar. “Rowan, sudah kubilangkan? Aku terlalu jijik untuk membaca pikiranmu” ejeknya.
“Baiklah, aku percaya padamu. Tapi bisakah kau berhenti mengatakan jijik?” Kami berdua tertawa lepas. Tak terasa bus yang kami tunggu sudah datang. Aku merasa kecewa saat bus ini datang, karena aku masih ingin melanjutkan perbincangan kami berdua. Aku penumpang pertama dan disusul Ren sebagai penumpang kedua. Bus ini sepi karena masih terlalu pagi pagi orang untuk berangkat bekerja.
Aku duduk di bangku kedua dari belakang, posisi yang sama saat aku duduk di bus yang terjadi pembajakan kemarin.  Tak kusangka Ren duduk disampingku.  Aku hanya terdiam ketika Ren berada disebelahku. Perasaan senang dan grogi bercampur menjadi satu. Aku tak ingin memikirkan macam-macam, karena akan menjadi aib bagiku jika Ren tiba-tiba membaca pikiranku.
            “Ren, aku ingin menanyakan sesuatu. Apakah kau selalu menggunakan break-mu terhadap orang lain?”. Ren tampak terkejut dengan pertanyaanku. “apakah pertanyaanmu perlu kujawab? Kusarankan lebih baik kau tidak perlu tahu yang seharusnya yang tak kau ketahui” ucapnya. Sepertinya ia tak mau memberitahuku. Dari ucapannya, aku bisa merasakan bahwa itulah yang ia rasakan. Pasti Ren pernah merasakan kebohongan dari orang-orang yang disekitarnya, dan lebih parahnya ia mengetahui bahwa kebohongan itu berasal dari orang yang ia percayai. Itu mungkin yang menyebabkan ia sekarang mudah tak percaya pada orang lain. Daripada mendengar ucapan orang lain, aku yakin ia pasti lebih menggunakan kekuatannya untuk membaca pikiran orang lain. Itulah konsekuensi yang harus digenggam sebagai seorang pemilik kekuatan, hilangnya rasa kepercayaan.
            “Tak perlu Ren, aku sudah tahu jawabannya. Pasti sulit bagimu mempunyai kekuatan itu kan?” Ren hanya mengangguk. Sepertinya Ren berpikir bahwa aku bisa memahami perasaannya.
            “Ya, sebagai orang yang memiliki kekuatan break, aku tak pernah bahagia. Lebih baik aku dibohongi tanpa mengetahui kebenaran daripada aku tahu kebenarannya. Itu sungguh menyakitkan saat  aku mencoba menggunakan break-ku. Jadi, aku hanya menggunakan break-ku pada saat tertentu saja.” ucapnya dengan lirih. Aku pun hanya terdiam. Diam untuk mengakhiri pembicaraan di bus ini yang mulai dipenuhi penumpang dari halte yang kami lewati. Aku tak ingin membuat Ren semakin larut terhadap permasalahnya.

            Bus yang kami tumpangi akhirnya tiba di halte depan sekolah Marineford. Jarum jam tanganku kini menunjukan pukul 06.30 . kurang 30 menit lagi sebelum lonceng Marineford bergema tanda pelajaran dimulai. Saat kuturun dari bus, kulihat jejeran mobil limousin dengan bendera kecil Britain terpasang dimoncong mobil itu sudah berada di halaman sekolahku. “pasti Jean sudah datang” gumamku dalam hati. Entah mengapa aku selalu berdebar jika berpapasan dengan Jean.
Di pintu masuk sekolahku terdapat seorang pengawal Jean. Nama Maxwell Amerthon tercantum diseragam ksatrianya. Tubuhnya yang tinggi besar hampir sama dengan Mr.Brown, guru olahraga akademi Marineford. Seandainya tak menjadi guru, mungkin menjadi pengawal bangsawan juga cocok untuknya. Maxwell hanya terdiam sambil mengawasi setiap siswa yang hendak masuk ke gedung sekolah bagaikan alat pendeteksi bom. Sepertinya keamanan sekolahku tak kalah dengan keamanan di kastil kerajaan.

            Pelajaran hari ini berlangsung sangat membosankan. Pelajaran sejarah. Mr.Edward yang sudah tua itu masih saja menceritakan perjuangan pahlawan ksatria Britain yang menumpas teroris di benua Asia, Sebuah dongeng yang selalu diucapkannya tiap kali mengajar. Ku pandang sekelilingku. Shierly yang duduk dibangku paling depan sangat memperhatikan pelajaran ini. Tak heran nilai sejarahnya selalu memuaskan, Ed dan Jeff didepanku sibuk dengan dunianya sendiri, membaca majalah superhero dan berlatih trik sulap baru untuk menghibur siswi kelas lain pada jam istirahat nanti. Kulirik samping kananku, Jean dengan mata penuh semangatnya tampak menikmati pelajaran ini. Dan terakhir aku menoleh kebelakang seolah-olah mengambil buku didalam tas ranselku yang kukaitkan dikursi. Kulihat Ren sedang menundukan kepalanya di meja. Dan lebih tepatnya ia tidur. Aku berusaha menahan tawa dalam hatiku. Baru kali ini aku memiliki teman sekelas wanita yang tidur dikelas.

            Lonceng Marineford bergema tiga kali, hal yang ditunggu para siswa disekolah ini, pelajaran disekolah telah usai. “Baiklah anak-anak. Jangan lupa belajar untuk ujian minggu depan.” perintah Mr.Edward sambil keluar meninggalkan kelasku.
            “Baik Mister.” jawab teman sekelasku serempak.
Segera para siswa 11-B ini berhamburan keluar meninggalkan kelas. Ren sudah terbangun dari tidurnya sejak lonceng berbunyi tadi. Saat kuhendak keluar dari kelas, ada sesuatu yang menarik punggung bajuku. Ternyata Ren yang menariknya sepertinya ia ingin aku tetap duduk dikursiku.
            “Rowan, hari ini aku ada misi baru.” ucap Ren sambil menatapku, tatapan yang kosong seperti biasanya.
            “Lalu apa hubungannya denganku?” jawabku santai sambil menatapnya kembali.
            “Aku diperintah oleh atasanku untuk membawa batu itu. Dan satunya lagi.. aku harus membawamu ke markas.” tatapannya kini menjadi tajam. Aku sempat terkejut sejenak. Ke markas? Secepat inikah aku dibutuhkan untuk menyelamatkan dunia? Semoga saja aku bisa berbuat banyak.
            “Aku tak menyangka secepat ini aku akan menjadi superhero.” jawabku dengan senang.
            “Jangan salah paham Rowan. Kau belum resmi menjadi bagian dari kami. Seandainya kau ingin menjadi bagian dari kami, maka kau harus melakukan pelatihan terlebih dahulu. Pelatihan yang cukup berbahaya maksudku.” aku diam sejenak mendengar penjelasan dari Ren.
            “Dan misiku kedua adalah mencari seseorang yang berpotensi memiliki break. Karena kau berpotensi, hm.. bahkan kau sudah memiliki break,  maka aku harus membawamu untuk pelatihan” sambung Ren.
            “Pelatihan ya? Pelatihan seperti apa? Dan apa nama organisasimu sebenarnya?” tanyaku cerewet.
            “Pelatihan Militer yang terdiri dari pelatihan fisik, mental dan hasrat. Organisasiku adalah ARMS. Dan kau harus ingat Rowan, aku membawamu sebagai seorang yang berpotensi memiliki break, bukan sebagai seorang breakers. Karena akan sungguh berbahaya jika mereka tahu kau memiliki kekuatan break sebelum waktunya. Dan hukumannya adalah mati.” tatapan mata Ren kini menjadi tajam. Setajam pisau yang menusuk jantungku.

            Aku sadar bahwa kekuatan break milikku adalah kekuatan yang kuambil dengan paksa dengan meyakinkan jiwa suku Nirvith yang ada didalam diriku. Tapi apakah itu salah? Mungkin inilah maksud pertanyaan Tulo kemarin apakah aku bersedia menunggu hingga waktunya nanti.  Apakah aku harus mengikuti pelatihan itu? Seandainya mereka tahu bahwa aku menggunakan break-ku, aku akan dihukum mati? Mendengar kata hukuman mati sungguh membuatku lemas. Aku bagaikan penjahat sekarang. Kini aku berada diantara dau pilihan. Ya atau tidak.

            “Mengapa aku butuh pelatihan? Apa gunanya pelatihan dengan break?” protesku.
            “Pelatihan tidak hanya fisik Rowan. Tapi Juga pelatihan mental untuk menentukan arah ambisimu Rowan. Seorang Breakers harus berambisi dijalan yang benar.” ucap Ren dengan ambisius.
            “Apakah para penguji tahu jika aku sudah memiliki break?”
            “ Tidak. Asalkan kau tidak tampil mencolok diantara peserta lainnya. Usahakan kau tak melakukan kontak dengan suku jiwa nirvith bahkan menggunakan breakmu saat disana. Karena disana terdapat sebuah batu yang bisa mendeteksi kekuatan yang abnormal. Dan ini hanya para anggota saja yang tahu.” jawab Ren memberiku bocoran.

            Disaat kami sedang berbicara tentang break, tak terasa suasana kelasku sudah sepi. Tak ada seorangpun selain kami berdua. Perasaan gugup yang melanda hatiku memacu jantungku untuk berdetak lebih cepat. Aku merasa takut tapi sangat tertantang.
“Bagaimana Rowan? Apakah kau siap?”  suara Ren memecahkan lamunanku.
“Aku masih bingung. Apakah kau dulu juga mengikuti pelatihan?” tanyaku mengorek informasinya lebih dalam.
“Tentu saja ikut. Latihan cuma butuh sebulan. Dan itu harus dilakukan sebelum kalian berumur 17 tahun.” jawab Ren.
“Memangnya kenapa kalau sudah lebh berumur 17 tahun?” tanyaku.
Ren terdiam sejenak. “aku tak tahu ini benar atau tidak, jika orang yang memiliki potensi break tidak mendapatkan kekuatan break sebelum berumur 17 tahun, maka jiwa suku nirvith itu akan mengendalikan seluruh tubuhmu. Dan bisa dibilang pemilik tubuh sebenarnya telah mati. Itulah yang ditakutkan.sebelum dikuasai, kau harus menguasainya.” Penjelasan Ren membuatku tersentak. Tulo pernah mengatakan bahwa aku harus menunggu? Menunggu sampai kapan jika seandainya aku tak tahu tentang kekuatan ini? Apakah tujuan Tulo sebenarnya ingin menguasaiku? Untung saja aku bisa mengendalikannya terlebih dahulu.
“Baiklah. Aku akan ikut pelatihan. Ngomong-ngomong dimana tempat pelatihannya?” tanyaku lagi sebelum kuberanjak dari kursiku.
“ di Manchester. Disana ada markas besar milik ARMS.” jawab Ren menyudahi percakapan ini.

            Akhirnya kuputuskan untuk pergi ke Manchester, salah satu kota di negara Britain ini untuk mengikuti pelatihan sebagai calon breakers. Padahal, sebenarnya aku sudah memiliki kekuatan break. Aku berbohong kepada Shierly dan teman-temanku bahwa aku tidak masuk sekolah selama sebulan dengan alasan merawat saudara ayahku yang sakit. Dan aku juga tidak bilang terhadap ayahku jika aku akan mengikuti pelatihan ini. Sepertinya mulai sekarang aku akan menjadi seorang pembohong yang handal. Ini adalah rahasiaku sendiri dan hanya Ren yang tahu.

            Ku ambil ponsel yang terletak di atas meja kamarku dan kutekan beberapa tombol untuk menghubungi ayahku. Aku ingin menelepon ayahku. Ayahku saat ini berada diluar negeri lebih tepatnya di daerah Syiria Timur Tengah. Ayahku adalah panglima angkatan darat kerajaan Britain. Ia bertugas untuk membantu pemerintahan duta besar Britain di Syiriah yang sedang digempur oleh para pemberontak di Syiriah. Aku sempat menonton berita itu di televisi beberapa minggu yang lalu bahwa pemberontak itu menginginkan suatu barang miliknya yang telah diambil oleh pemerintahan duta besar Britain. Namun tak dijelaskan barang apa itu. Pekerjaan yang berat selalu diambil oleh ayahku, sehingga beliau jarang meluangkan waktunya untukku, anak semata wayangnya. Beliau begitu setia terhadap kerajaan Britain. Beliau diangkat menjadi panglima besar kurang lebih 17 tahun yang lalu saat  berjasa atas menumpas teroris yang menyerang rombongan kerajaan Britain di “Benua Asiar” yang pada saat itu telah menewaskan Raja Clovis. Hingga saat ini ayahku dipanggil dengan julukan “The Sniper” oleh rekan-rekan kerjanya karena keahliannya dalam menggunakan berbagai senjata api. Beberapa kali panggilanku tak kunjung diangkat oleh ayahku. Mungkin beliau sedang sibuk dengan pekerjaannya. Akhirnya aku ketik sebuah pesan singkat untuk ayahku. “kapan kau pulang,dad? Aku merindukanmu.Rowan”






Chapter Seven : ARMS -END-

To be Continued to Chapter Eight-



Share

0 komentar:

Posting Komentar