Ketika memperhatikannya,
tiba-tiba dia melihat kearahku dengan
tatapan mata yang tajam.
Apakah ia sadar bahwa sedang kuperhatikan?
Padahal jarak kami cukup jauh dan aku
berada didalam kelas. Siapakah pemuda itu?
CHAPTER SEVEN : ARMS
Malam
ini aku kembali bermimpi, mimpi yang selalu menghantuiku ketika ku tidur. Suara
wanita yang menyanyikan alunan nada sebuah lagu, kembali terdengar dengan
jelas. Namun kali ini suara wanita itu
diselingi dengan tawaan canda ketika ia bernyanyi. Seperti seorang ibu yang bersenda gurau
dengan anaknya. Beberapa saat kemudian,
aku pun terbangun dari mimpiku itu. Mataku masih lengket sehingga sulit untuk
kubuka, nafasku terasa berat, hal yang selalu kurasakan tiap kali saat aku
bangun dari tidur. Otot-otot kakiku masih terasa pegal gara-gara kejadian
kemarin. Kurasakan hari ini tak berbeda seperti kemarin. Aku masih terlalu mengantuk untuk bangun pagi ini. Kucari
jam weker yang mengganjal dibawah bantalku yang seharusnya berbunyi nyaring
ketika aku bangun. Ternyata pagi ini aku bangun terlalu cepat, pukul 5 pagi.
Tidak seperti biasanya aku bangun pagi seperti ini.
Ku
beranjak dari tidurku dan melakukan peregangan yang biasa kulakukan setelah
bangun tidur untuk melemaskan tubuhku yang masih kaku setelah bangun tidur.
kupandang cermin yang tergantung di tembok kamarku. Bercermin setelah bangun
tidur adalah kebiasaanku. Entah sejak kapan kebiasaan itu dimulai. Kuperhatikan wajahku yang masih kusut, dan
kulihat lebih seksama lagi mata kananku yang terlihat biasa saja. Aku penasaran
bagaimana mungkin Ren mengatakan mataku
berwarna hijau? Karena penasaran kucoba mengaktifkan break-ku. Aura
cahaya hijau muncul dari tubuhku dan menyebar kesekelilingku.
Kupandang
cermin lagi, bola mataku kini bercahaya hijau metalik, seperti lampu hijau yang
berkelap-kelip . Betapa indahnya bola mata yang kumiliki ini, selain indah
memiliki kekuatan yang tak masuk akal.
Setelah beberapa menit terpana dengan keindahan mataku, ku nonaktifkan
break-ku, dan ku melangkah menuju jendela kamarku, udara yang diluar cukup
dingin sehingga membuat tubuhku menggigil. Tiupan angin pagi ini terasa menusuk
tulang-tulangku. Sudah lama aku tak merasakan angin pagi hari sembari menantikan
terbitnya matahari yang mulai terlihat.
Setelah
bersiap diri dan mengunci pintu kamar apartemenku, aku bersiap untuk
bersekolah. Saat baru berjalan beberapa langkah, aku berpapasan dengan Bibi
Ruth, tetangga sebelahku.
“selamat
pagi, bi” salamku terhadap bibi Ruth yang kelihatannya habis berbelanja di
market.
“Pagi,
Rowan. Pagi sekali kau berangkat sekolah? Apakah aku salah lihat?” bibi Ruth
tampak terkejut. Memang aku tak pernah sepagi ini berangkat kesekolah. Kulihat
jam tanganku belum menunjukan pukul enam pagi.
“
ya, Bi. Aku terbangun dan tak bisa tidur lagi. Jadi aku berangkat sekolah
saja.” jawabku sambil tersenyum lebar kearah Bibi Ruth.
“Oh..
Usahakan kau selalu bangun pagi ya agar tak terlambat. Oiya, tolong sampaikan
pada ayahmu tagihan apartemen bulan ini sudah hampir tiba” Bibi Ruth mengingatkanku.
Semenjak
ayahku bertugas diluar negeri, Bibi Ruth lah yang mengurus keperluan apartemen
dan iuran lainnya. Apabila Bibi Ruth sedang memasak makan malam, ia tak pernah
lupa menyuruh Bella, anaknya yang masih berusia 8 tahun untuk mengantarkan
bungkusan makan malam ke apartemenku. Aku sungguh bersyukur memiliki tetangga
yang menganggapku seperti keluarganya sendiri.
“Iya
Bi. Nanti ayah akan ku telpon.” kulambaikan tanganku untuk pamit dan meninggalkan
Bibi Ruth yang tampaknya masih ingin mengobrol denganku.
Hari
ini aku berangkat kesekolah seperti biasanya, menggunakan bus umum. Hempasan
angin pagi ini menemaniku dalam perjalanan menuju halte bus yang terletak tak
jauh dari apartemen yang kutinggali, Apartemen Lotus. Tubuhku menggigil selama
perjalanan, aku memang tak terbiasa dengan cuaca yang dingin. Mungkin itu
sebabnya aku malas berangkat sekolah disaat pagi sekali. Kejadian pembajakan
bus kemarin masih terngiang jelas dibenakku,apakah kali ini para penjahat itu
akan menuntut balas terhadap Ren? Tapi sepertinya tak mungkin, karena para
penjahat itu sudah dibawa ke kantor polisi. Entah mengapa mulai sekarang aku
merasa trauma jika naik bus, padahal itu satu-satunya alat transportasi yang cukup
efisien untuk sampai kesekolah. Lagipula sekarang aku memiliki kekuatan break,
sehingga rasa takutku kini telah berubah menjadi rasa keberanian.
Langkahku
berhenti beberapa meter dari halte bus. Tampak hanya seorang penumpang yang
menunggu bus di halte itu. Seorang gadis
berambut hitam panjang dengan setelan seragam biru laut dengan jas hitam
dengan logo Marineford dilengan kanannya duduk dengan tenang dan elegan. Ya,
Ren Misumi. Seorang pemilik kekuatan break yang mulai hari ini menjadi teman
sekelasku tampak merapatkan kedua kakinya sambil memangku tas ranselnya. Ia
tampak cantik dengan menggunakan seragam sekolahku.
Ren
menoleh kearahku yang masih mematung dan membuatku mau tak mau menghampirinya.
“Morning,
Ren. Kita bertemu lagi.” aku duduk di bangku sebelahnya. Ren tampak tersenyum
atas sapaanku. “Pagi juga, Rowan. Aku tak menyangka kau bisa bangun sepagi ini”
sindirnya sambil meletakkan tas ranselnya disela-sela bangku yang kami duduki.
“Yah,
mungkin ini efek dari break-ku.” Ren tampak tertawa geli dan aku pun ikut
tertawa. Ren ternyata tak seperti yang kubayangkan. Saat pertama kali berbicara
dengannya kukira dia seorang yang pendiam dan jutek. Tapi lama kelamaan sifat
aslinya mulai terlihat meskipun ini merupakan hari kedua sejak berkenalan dengannya.
Ren seorang yang ramah dan baik hati meskipun ucapannya kadang-kadang
menyebalkan. Tapi, aku bisa merasakan bahwa dia kesepian, sama sepertiku. “Kau
tinggal didaerah sini?”
Ren
mengangguk pelan.”Ya, aku tinggal diapartemen didekat sini.” ucapnya. Di
apartemen? Apartemen didaerah sini cuma ada 1. yaitu apartemenku, apartemen
Lotus. “Maksudmu apartemen Lotus?” aku memastikan jawabannya. “Untuk apa kau
tanya-tanya? Iya tepat sekali.” jawab Ren sambil mengerutkan alis atas
pertanyaanku tadi. Aku sungguh tak menyangka bahwa Ren tinggal di apartemen
yang sama denganku. Tapi sejak kapan? Aku ingin menanyakan hal ini namun
kuurungkan niatku. Pasti dia akan menjawab dengan perkataan yang pedas. Aku
mulai merasa yakin bahwa Ren sepertinya benar-benar menguntitku. “kau tak
membaca pikiranku kan? Aku juga tinggal di apartemen Lotus .”
Ren
menghela nafas sebentar. “Rowan, sudah kubilangkan? Aku terlalu jijik untuk
membaca pikiranmu” ejeknya.
“Baiklah, aku percaya padamu. Tapi
bisakah kau berhenti mengatakan jijik?” Kami berdua tertawa lepas. Tak terasa
bus yang kami tunggu sudah datang. Aku merasa kecewa saat bus ini datang,
karena aku masih ingin melanjutkan perbincangan kami berdua. Aku penumpang
pertama dan disusul Ren sebagai penumpang kedua. Bus ini sepi karena masih
terlalu pagi pagi orang untuk berangkat bekerja.
Aku duduk di bangku kedua dari
belakang, posisi yang sama saat aku duduk di bus yang terjadi pembajakan
kemarin. Tak kusangka Ren duduk
disampingku. Aku hanya terdiam ketika Ren
berada disebelahku. Perasaan senang dan grogi bercampur menjadi satu. Aku tak
ingin memikirkan macam-macam, karena akan menjadi aib bagiku jika Ren tiba-tiba
membaca pikiranku.
“Ren,
aku ingin menanyakan sesuatu. Apakah kau selalu menggunakan break-mu terhadap
orang lain?”. Ren tampak terkejut dengan pertanyaanku. “apakah pertanyaanmu
perlu kujawab? Kusarankan lebih baik kau tidak perlu tahu yang seharusnya yang
tak kau ketahui” ucapnya. Sepertinya ia tak mau memberitahuku. Dari ucapannya,
aku bisa merasakan bahwa itulah yang ia rasakan. Pasti Ren pernah merasakan
kebohongan dari orang-orang yang disekitarnya, dan lebih parahnya ia mengetahui
bahwa kebohongan itu berasal dari orang yang ia percayai. Itu mungkin yang
menyebabkan ia sekarang mudah tak percaya pada orang lain. Daripada mendengar
ucapan orang lain, aku yakin ia pasti lebih menggunakan kekuatannya untuk
membaca pikiran orang lain. Itulah konsekuensi yang harus digenggam sebagai
seorang pemilik kekuatan, hilangnya rasa kepercayaan.
“Tak
perlu Ren, aku sudah tahu jawabannya. Pasti sulit bagimu mempunyai kekuatan itu
kan?” Ren hanya mengangguk. Sepertinya Ren berpikir bahwa aku bisa memahami
perasaannya.
“Ya,
sebagai orang yang memiliki kekuatan break, aku tak pernah bahagia. Lebih baik
aku dibohongi tanpa mengetahui kebenaran daripada aku tahu kebenarannya. Itu
sungguh menyakitkan saat aku mencoba
menggunakan break-ku. Jadi, aku hanya menggunakan break-ku pada saat tertentu
saja.” ucapnya dengan lirih. Aku pun hanya terdiam. Diam untuk mengakhiri
pembicaraan di bus ini yang mulai dipenuhi penumpang dari halte yang kami
lewati. Aku tak ingin membuat Ren semakin larut terhadap permasalahnya.
Bus
yang kami tumpangi akhirnya tiba di halte depan sekolah Marineford. Jarum jam
tanganku kini menunjukan pukul 06.30 . kurang 30 menit lagi sebelum lonceng
Marineford bergema tanda pelajaran dimulai. Saat kuturun dari bus, kulihat
jejeran mobil limousin dengan bendera kecil Britain terpasang dimoncong mobil
itu sudah berada di halaman sekolahku. “pasti Jean sudah datang” gumamku dalam
hati. Entah mengapa aku selalu berdebar jika berpapasan dengan Jean.
Di pintu masuk sekolahku terdapat
seorang pengawal Jean. Nama Maxwell Amerthon tercantum diseragam ksatrianya.
Tubuhnya yang tinggi besar hampir sama dengan Mr.Brown, guru olahraga akademi
Marineford. Seandainya tak menjadi guru, mungkin menjadi pengawal bangsawan
juga cocok untuknya. Maxwell hanya terdiam sambil mengawasi setiap siswa yang
hendak masuk ke gedung sekolah bagaikan alat pendeteksi bom. Sepertinya
keamanan sekolahku tak kalah dengan keamanan di kastil kerajaan.
Pelajaran
hari ini berlangsung sangat membosankan. Pelajaran sejarah. Mr.Edward yang
sudah tua itu masih saja menceritakan perjuangan pahlawan ksatria Britain yang
menumpas teroris di benua Asia, Sebuah dongeng yang selalu diucapkannya tiap
kali mengajar. Ku pandang sekelilingku. Shierly yang duduk dibangku paling
depan sangat memperhatikan pelajaran ini. Tak heran nilai sejarahnya selalu
memuaskan, Ed dan Jeff didepanku sibuk dengan dunianya sendiri, membaca majalah
superhero dan berlatih trik sulap baru untuk menghibur siswi kelas lain pada
jam istirahat nanti. Kulirik samping kananku, Jean dengan mata penuh
semangatnya tampak menikmati pelajaran ini. Dan terakhir aku menoleh kebelakang
seolah-olah mengambil buku didalam tas ranselku yang kukaitkan dikursi. Kulihat
Ren sedang menundukan kepalanya di meja. Dan lebih tepatnya ia tidur. Aku
berusaha menahan tawa dalam hatiku. Baru kali ini aku memiliki teman sekelas
wanita yang tidur dikelas.
Lonceng
Marineford bergema tiga kali, hal yang ditunggu para siswa disekolah ini,
pelajaran disekolah telah usai. “Baiklah anak-anak. Jangan lupa belajar untuk
ujian minggu depan.” perintah Mr.Edward sambil keluar meninggalkan kelasku.
“Baik
Mister.” jawab teman sekelasku serempak.
Segera para siswa 11-B ini
berhamburan keluar meninggalkan kelas. Ren sudah terbangun dari tidurnya sejak
lonceng berbunyi tadi. Saat kuhendak keluar dari kelas, ada sesuatu yang
menarik punggung bajuku. Ternyata Ren yang menariknya sepertinya ia ingin aku
tetap duduk dikursiku.
“Rowan,
hari ini aku ada misi baru.” ucap Ren sambil menatapku, tatapan yang kosong
seperti biasanya.
“Lalu
apa hubungannya denganku?” jawabku santai sambil menatapnya kembali.
“Aku
diperintah oleh atasanku untuk membawa batu itu. Dan satunya lagi.. aku harus
membawamu ke markas.” tatapannya kini menjadi tajam. Aku sempat terkejut
sejenak. Ke markas? Secepat inikah aku dibutuhkan untuk menyelamatkan dunia?
Semoga saja aku bisa berbuat banyak.
“Aku
tak menyangka secepat ini aku akan menjadi superhero.” jawabku dengan senang.
“Jangan
salah paham Rowan. Kau belum resmi menjadi bagian dari kami. Seandainya kau
ingin menjadi bagian dari kami, maka kau harus melakukan pelatihan terlebih
dahulu. Pelatihan yang cukup berbahaya maksudku.” aku diam sejenak mendengar
penjelasan dari Ren.
“Dan
misiku kedua adalah mencari seseorang yang berpotensi memiliki break. Karena
kau berpotensi, hm.. bahkan kau sudah memiliki break, maka aku harus membawamu untuk pelatihan”
sambung Ren.
“Pelatihan
ya? Pelatihan seperti apa? Dan apa nama organisasimu sebenarnya?” tanyaku
cerewet.
“Pelatihan
Militer yang terdiri dari pelatihan fisik, mental dan hasrat. Organisasiku
adalah ARMS. Dan kau harus ingat Rowan, aku membawamu sebagai seorang yang
berpotensi memiliki break, bukan sebagai seorang breakers. Karena akan sungguh
berbahaya jika mereka tahu kau memiliki kekuatan break sebelum waktunya. Dan
hukumannya adalah mati.” tatapan mata Ren kini menjadi tajam. Setajam pisau
yang menusuk jantungku.
Aku
sadar bahwa kekuatan break milikku adalah kekuatan yang kuambil dengan paksa
dengan meyakinkan jiwa suku Nirvith yang ada didalam diriku. Tapi apakah itu
salah? Mungkin inilah maksud pertanyaan Tulo kemarin apakah aku bersedia
menunggu hingga waktunya nanti. Apakah
aku harus mengikuti pelatihan itu? Seandainya mereka tahu bahwa aku menggunakan
break-ku, aku akan dihukum mati? Mendengar kata hukuman mati sungguh membuatku
lemas. Aku bagaikan penjahat sekarang. Kini aku berada diantara dau pilihan. Ya
atau tidak.
“Mengapa
aku butuh pelatihan? Apa gunanya pelatihan dengan break?” protesku.
“Pelatihan
tidak hanya fisik Rowan. Tapi Juga pelatihan mental untuk menentukan arah
ambisimu Rowan. Seorang Breakers harus berambisi dijalan yang benar.” ucap Ren
dengan ambisius.
“Apakah
para penguji tahu jika aku sudah memiliki break?”
“
Tidak. Asalkan kau tidak tampil mencolok diantara peserta lainnya. Usahakan kau
tak melakukan kontak dengan suku jiwa nirvith bahkan menggunakan breakmu saat
disana. Karena disana terdapat sebuah batu yang bisa mendeteksi kekuatan yang
abnormal. Dan ini hanya para anggota saja yang tahu.” jawab Ren memberiku
bocoran.
Disaat
kami sedang berbicara tentang break, tak terasa suasana kelasku sudah sepi. Tak
ada seorangpun selain kami berdua. Perasaan gugup yang melanda hatiku memacu
jantungku untuk berdetak lebih cepat. Aku merasa takut tapi sangat tertantang.
“Bagaimana Rowan? Apakah kau
siap?” suara Ren memecahkan lamunanku.
“Aku masih bingung. Apakah kau dulu
juga mengikuti pelatihan?” tanyaku mengorek informasinya lebih dalam.
“Tentu saja ikut. Latihan cuma butuh
sebulan. Dan itu harus dilakukan sebelum kalian berumur 17 tahun.” jawab Ren.
“Memangnya kenapa kalau sudah lebh
berumur 17 tahun?” tanyaku.
Ren terdiam sejenak. “aku tak tahu
ini benar atau tidak, jika orang yang memiliki potensi break tidak mendapatkan
kekuatan break sebelum berumur 17 tahun, maka jiwa suku nirvith itu akan
mengendalikan seluruh tubuhmu. Dan bisa dibilang pemilik tubuh sebenarnya telah
mati. Itulah yang ditakutkan.sebelum dikuasai, kau harus menguasainya.”
Penjelasan Ren membuatku tersentak. Tulo pernah mengatakan bahwa aku harus
menunggu? Menunggu sampai kapan jika seandainya aku tak tahu tentang kekuatan
ini? Apakah tujuan Tulo sebenarnya ingin menguasaiku? Untung saja aku bisa
mengendalikannya terlebih dahulu.
“Baiklah. Aku akan ikut pelatihan.
Ngomong-ngomong dimana tempat pelatihannya?” tanyaku lagi sebelum kuberanjak
dari kursiku.
“ di Manchester. Disana ada markas
besar milik ARMS.” jawab Ren menyudahi percakapan ini.
Akhirnya
kuputuskan untuk pergi ke Manchester, salah satu kota di negara Britain ini
untuk mengikuti pelatihan sebagai calon breakers. Padahal, sebenarnya aku sudah
memiliki kekuatan break. Aku berbohong kepada Shierly dan teman-temanku bahwa
aku tidak masuk sekolah selama sebulan dengan alasan merawat saudara ayahku
yang sakit. Dan aku juga tidak bilang terhadap ayahku jika aku akan mengikuti
pelatihan ini. Sepertinya mulai sekarang aku akan menjadi seorang pembohong
yang handal. Ini adalah rahasiaku sendiri dan hanya Ren yang tahu.
Ku
ambil ponsel yang terletak di atas meja kamarku dan kutekan beberapa tombol
untuk menghubungi ayahku. Aku ingin menelepon ayahku. Ayahku saat ini berada
diluar negeri lebih tepatnya di daerah Syiria Timur Tengah. Ayahku adalah
panglima angkatan darat kerajaan Britain. Ia bertugas untuk membantu
pemerintahan duta besar Britain di Syiriah yang sedang digempur oleh para
pemberontak di Syiriah. Aku sempat menonton berita itu di televisi beberapa
minggu yang lalu bahwa pemberontak itu menginginkan suatu barang miliknya yang
telah diambil oleh pemerintahan duta besar Britain. Namun tak dijelaskan barang
apa itu. Pekerjaan yang berat selalu diambil oleh ayahku, sehingga beliau
jarang meluangkan waktunya untukku, anak semata wayangnya. Beliau begitu setia
terhadap kerajaan Britain. Beliau diangkat menjadi panglima besar kurang lebih
17 tahun yang lalu saat berjasa atas
menumpas teroris yang menyerang rombongan kerajaan Britain di “Benua Asiar”
yang pada saat itu telah menewaskan Raja Clovis. Hingga saat ini ayahku
dipanggil dengan julukan “The Sniper” oleh rekan-rekan kerjanya karena
keahliannya dalam menggunakan berbagai senjata api. Beberapa kali panggilanku
tak kunjung diangkat oleh ayahku. Mungkin beliau sedang sibuk dengan
pekerjaannya. Akhirnya aku ketik sebuah pesan singkat untuk ayahku. “kapan
kau pulang,dad? Aku merindukanmu.Rowan”
Chapter Seven : ARMS -END-
To be Continued to Chapter Eight-
0 komentar:
Posting Komentar