Aku hanya bisa terdiam didalam
keributan kecil ini.
Aku tak berani ikut campur dalam mengatasi
permasalahan sepele yang akhirnya menjadi besar seperti ini.
Apakah yang harus kulakukan?
Apakah aku akan berhasil menjadi anggota ARMS
dengan mengalahkan peserta-peserta seperti mereka?
Chapter 9 : Piece of Truth
Suasana
di basemen ini masih begitu tegang setelah kejadian pemukulan yang dilakukan
Laundrup terhadap Singh. Tak ada seorangpun dari kami yang berani mengeluarkan
suara maupun mengucapkan sepatah kata di ruangan ini. Dingin udara di basemen
ini menyeruak ke seluruh tubuhku, membuatku mematung seperti boneka salju.
Suara langkah berat dan keras yang menghantam lantai tampak memecahkan kebekuan
di ruangan ini.
Kini
mataku tertuju pada asal deru suara langkah yang menarik perhatian indera
pendengaranku itu. Seorang pria bertubuh besar tegap, berkulit putih khas eropa
dan rambut putih tipisnya yang disisir rapi menyibak ke belakang. Kedua bola
matanya yang bewarna kebiruan itu tampak terbelalak ke arah kami. “Wah,wah.
Pelatihan ini belum dimulai, tapi kenapa kalian sudah menumpahkan darah disini?
Sepertinya kalian terlalu bersemangat.”
Tatapan
mata itu kini terpusat pada Laundrup, aktor dalam peristiwa tadi. Mata Laundrup
juga membalas tatapan mata pria itu dengan tajam. Seolah-olah mereka sedang
berkomunikasi melalui mata mereka.
“Baiklah,
pelatihan akan dimulai esok hari. pada
hari ini, aku akan memberikan sedikit sejarah yang perlu kalian ketahui. Apakah
kalian siap?” Pria itu kini mengamati satu persatu peserta dari atas mimbarnya.
“Siap...”
Suaraku dan beberapa peserta dengan pelan. Sepertinya kami masih ketakutan
untuk mengeluarkan suara. Pita suara kami seperti terkunci oleh ketakutan yang
telah ditebarkan oleh Laundrup. Mungkin Laundrup lah peserta yang akan disegani
oleh peserta lainnya.
“Apa-apaan
suara ini? Apakah kalian lapar? Apa seperti inikah calon anggota ARMS? Atau
kalian takut gara-gara aksi spektakuler salah seorang teman kita? Ingat, posisi
kalian disini sama. Sebagai peserta calon anggota ARMS. Jadi kalian hanya boleh
patuh dan takut terhadap para pasukan ARMS. “ ucap pria itu. Namun bagiku itu
lebih mengarah pada sindiran untuk Laundrup.
“jadi
apakah kalian siap?” Pria itu mengulangi pertanyaannya.
“SIAPPP...
!!!” suara serempak seluruh peserta yang terdiri dari pemuda dan gadis ini
begitu bersemangat. Mungkin seperti inilah cara pria itu memompa semangat
peserta lain dengan mengintimidasi peserta yang kuat, sehingga peserta yang
lemah tidak merasa tertekan. Sedangkan peserta yang kuat akan semakin
menunjukan potensinya. Sungguh cara yang unik untuk menggali potensi.
Pria
itu tampak memejamkan mata beberapa detik seperti merasakan sesuatu dari suara
semangat kami. Ia kembali membuka matanya dan tersenyum. “Bagus. Itulah
semangat yang harus dimiliki anak muda! Baiklah, perkenalkan namaku Xavier
Jonathan. Mulai detik ini kalian memanggilku kapten Xavier. Akulah pemimpin
organisasi khusus 'ARMS' . Sebuah organisasi yang menangani kasus-kasus
abnormal yang sebentar lagi atau bahkan sudah bermunculan.”
“Mungkin
diantara kalian masih belum mengerti mengapa kalian disebut memiliki potensi
kekuatan break. Lalu apakah kalian mengerti apakah break itu? Darimana asal
break itu? Mengapa diri kalian memiliki kekuatan itu?” Raut muka kapten Xavier
kini berubah menjadi lebih serius.
Pertanyaan
yang terlontar dari dari bibir kapten Xavier itu mungkin memang pertanyaan yang
begitu dicari-cari oleh peserta lain yang memiliki potensi break. Namun aku
sudah tahu jawaban dari pertanyaan itu dari Tulo dan akhirnya sekarang aku
memiliki kekuatan Break.
“Sebelum
aku menjawab pertanyaan itu, aku akan mengungkapkan fakta yang mengejutkan.
Kalian semua, peserta yang ada disini memiliki satu kesamaan. Kalian memiliki
tanggal lahir yang sama. Yaitu tanggal 2 November 2000. dan apakah kalian
ingat, tragedi yang selalu dikenang pada tanggal itu?” wajah kapten Xavier
kembali serius. Ia seperti menjiwai setiap kata-kata yang diucapkannya.
“Meskipun
kalian memiliki postur tubuh yang berbeda, kalian tetap sama. Hanya kemauan dan
semangat ambisi kalian yang bisa menunjukan perbedaan potensi dalam diri
kalian. Dan satu lagi, kalian akan memikul beban yang berat setelah kalian
lahir. Itulah takdir kalian.”
Tiba-tiba
layar raksasa yang terpasang di belakang kapten Xavier menyala. Cahaya terang
dari layar itu menyilaukan mataku. Layar itu memutarkan sebuah film
dokumentari. Sebuah peristiwa yang
terjadi pada tanggal 2 November 2000 disebuah negara yang saat ini telah
binasa, Unity of America.
Menurut
sejarah yang selama ini kupelajari di sekolah, 17 tahun yang lalu terjadi
ledakan nuklir dalam radius skala besar yang dilakukan oleh sekelompok teroris,
dan menyebabkan negara yang berkuasa saat itu, Unity of America hancur lebur
tanpa sisa. Tak ada satupun warga negara yang berada di negara itu yang
berhasil selamat. Negara yang sering disebut dengan UOA itu rata dengan tanah.
Dan menurut pelajaran sejarah yang selalu dijelaskan oleh Mr.Edward guru
sejarahku, Britain yang saat itu merupakan satu-satunya sekutu dari UOA kini
mengambil peran negara tersebut untuk mengatur kestabilan negara di dunia ini
dan berusaha mengejar teroris yang memiliki senjata pemusnah massal yang mampu
menghancurkan UOA yang pada saat itu terkenal memiliki pertahanan negara dan
peralatan tempur yang terbaik di dunia. Namun, dalam rekaman film yang diputar
ini sedikit berbeda dengan yang diajarkan Mr. Edward.
Kami
semua terkejut dengan rekaman film yang tak bisa kami sangka. Pada tanggal 18
November 2000, adik dari raja Britain, Charles Pierre Harrison mengadakan
konferensi pers, dan menyatakan bahwa pihak yang bertanggung jawab atas
musnahnya UOA adalah sekelompok terorist yang mengatasnamakan “ARMS”.
Badanku
kembali terasa membeku. Dan kepalaku dikelilingi oleh pertanyaan-pertanyaan
baru yang timbul setelah menonton film barusan. Apakah aku sekarang berada di
sarang teroris? Apa kata orang-orang jika anak dari seorang jendral angkatan
darat Britain ini adalah seorang teroris? Bukankah aku akan mempermalukan nama
ayahku dan mengkhianati negaraku sendiri? Negara yang sudah hampir 17 tahun
kutinggali. Perasaan bimbang kini berkecamuk didalam hatiku. Aku masih terdiam
didalam lamunanku yang semakin lama membuat seluruh tubuhku mematung beku. Aku tak bisa menggerakkan organ-organ
tubuhku, aku tak bisa merasakan suasana disekitarku sekarang. Ambisiku terasa
goyah.
“Nah
bagaimana perasaan kalian? Aku tahu pasti kalian sedang memikirkan hal yang
sama. Apakah kalian percaya bahwa kami adalah teroris? Tujuan kami mengumpulkan kalian adalah untuk membuktikan sebuah kebenaran.
Kebenaran yang disembunyikan oleh negara yang berkuasa saat ini, Britain.” ucap
Xavier. Suasana di basement ini masih begitu hening.
“Britain
telah melimpahkan kesalahan yang telah mereka perbuat kepada kami, ARMS.
Organisasi yang berasal dari UOA. Sebuah organisasi yang berusaha menyelamatkan
negara kami pada saat itu.” lanjutnya. “Maka dari itu aku butuh kekuatan
kalian, ntuk membuktikan kebenaran dan membuka aib Britain.”
Janji
kesetiaanku terhadap tanah air Britain ini benar-benar sedang diuji. Apakah
harus kugunakan break-ku untuk kabur dari tempat ini? Ataukah aku harus
berkhianat terhadap negaraku? Lalu apa tujuan hidupku sebenarnya? Aku mengatakan
pada Tulo bahwa aku membutuhkan kekuatan break untuk memenuhi ambisiku, yaitu
ambisi untuk menunjukkan dunia ideal didalam pemikiranku. Tapi, apakah itu
hanya angan-angan belaka? Ambisi yang muncul tiba-tiba itu kini jarang
terngiang dikepalaku. Sebenarnya apa ambisi ku ini? Ambisiku akan cita-cita ku
melemah. Tak seperti waktu didalam jiwaku yang begitu menggebu-gebu untuk
meyakinkan Tulo.
“Untuk
malam ini, kalian dipersilahkan untuk beristirahat. Ikutilah para mentor
dibelakang kalian. Mereka akan mengantarkan ke tempat istirahat kalian. Semoga
kalian bisa tidur nyenyak.” ucap Kapten Xavier sembari meninggalkan panggung
itu.
Para
Mentor yang berdiri dibelakang kami berjumlah tujuh orang. Hanya salah satu
yang kuketahui, Petra. Para peserta meninggalkan basemen dan menuju ke mentor
yang berada didekat mereka. Tak ada suara berisik dari peserta seperti saat
pertama kali aku tiba disini. Sepertinya semua benar-benar shock. Aku menuju ke
arah Petra. Kuikuti barisan yang berjumlah kan duapuluhan peserta yang dipimpin
oleh Petra. Barisan ini menuju kearah timur dari basemen tadi yang berada
ditengah-tengah ruangan underground ini. Di bagian arah timur ini, terdapat
sebuah pintu besi besar yang akan menghubungkan ke tempat istirahat kami. Saat
Petra membuka pintu yang bertuliskan “EAST ROOM” itu, cahaya putih terang di
lorong bangsal ini menyilaukan mataku. Maklum saja semenjak di basement tadi,
cahaya remang-remang membuat penglihatanku sedikit buram.
Petra
menghentikan langkahnya. “Baiklah, kita sudah sampai. Sekarang pilih ruangan
kalian masing-masing dan pastikan kalian kunci dari dalam saat malam hari.”
ucap Petra sambil mengecek satu persatu pintu kamar.
“Dan
yang harus kalian patuhi, jangan pernah keluar dari East Room setelah pukul 12
malam. Dan besok pagi pukul 7 tepat kalian sudah harus hadir di cafetaria jika
kalian masih ingin mengisi perut kalian. Mengerti? “lanjutnya.
Semua
terdiam. “Mengerti kakak tampan..” jawab seorang peserta gadis berambut cokelat
yang tampaknya terpikat oleh ketampanan Petra yang masih muda dibandingkan
pasukan lainnya.
“Baguslah.
Selamat beristirahat.” ucap Petra sambil meninggalkan East Room.
Aku
menuju sebuah kamar yang berpintu putih dengan nomor delapan yang terpasang
rapi di pintu ini. Aku menoleh ke kiri kananku, namun tak ada satupun yang
kukenal. Lagipula aku juga belum berkenalan dengan siapapun saat tiba disini.
Saat kubuka pintu kamarku, ada sesuatu yang menepuk pundakku. “Hey,man. Kenapa
wajahmu murung?” aku menoleh kebelakang untuk memastikan sumber suara itu.
Seorang
pemuda yang sepantaran denganku, namun tubuhnya lebih atletis dibandingkan
denganku. Pemuda itu sesekali meniup rambut poni panjangnya yang menutupi mata
kirinya hingga poninya berterbangan. Dinamepacknya tertera sebuah nama, Miguel.
“Yah mungkin aku terlalu banyak memikirkan kebenaran film tadi.” jawabku lemas.
“Semua
peserta juga mengalami hal yang sama denganmu,man. Termasuk aku juga. Tapi kita
harus semangat kan? Pelatihan dimulai besok.” jawabnya menyemangatiku.
“kau
benar. Hm.. sepertinya kau lebih baik daripada peserta lain.” jawabku
memujinya. Ia tersenyum lebar sambil tertawa kecil.
“Hentikan
pujianmu,man. Aku lebih suak dipuji oleh gadis daripada sesama pria.” ucap
Miguel. Mata Miguel tampak mencari-cari
sesuatu dipakaianku. “Siapa namamu?
Kenapa kau tak memakai namepack?”
“
Sepertinya mereka lupa memberikanku namepack. Hahaha.. namaku Rowan Thomskin.”
jawabku sambil mengulurkan tanganku. Miguel langsung menyambut uluran telapak
tangan kananku. “nama yang bagus,man.
Perkenalkan aku Miguel Angelo.” jawabnya.
“Baiklah,
sepertinya kita harus beristirahat. Jika kau membutuhkanku, kau bisa
menghampiriku di room 11.” jempol tangannya menunjuk kearah kanan sebelah
kamarku.
“Oke,
sampai bertemu besok, Miguel.” balasku.
Kini
aku melangkah masuk kedalam room yang telah kupilih. Warna putih polos pada
dinding kamar ini masih terlihat baru dan sedikit tercium aroma cat. Sepertinya
room ini di cat ulang untuk menyambut para peserta. Tak ada perabotan lain
dikamar ini kecuali sebuah tempat tidur dan lemari kayu yang sepertinya cukup
usang. Kubuka pintu lemari itu yang
ternyata tak terkunci. Didalam lemari usang itu terdapat coret-coretan
nama orang, mungkin itu adalah nama-nama peserta terdahulu. Dan yang menarik
perhatianku, guratan pena yang membekas di lemari itu tertulis nama yang
kukenal, Ren. Ren Misumi. Apakah ini adalah bekas kamar Ren waktu pelatihan?
Aku tersenyum kecil memikirkan ketidaksengajaan ini. Aku berbaring di tempat
tidurku yang ternyata cukup empuk, serasa memijit tulang punggungku yang kaku.
Kucoba untuk memejamkan mata, untuk menyongsongi esok hari yang begitu berat,
pelatihan fisik.
Cafetaria
pagi ini begitu tenang dan hening. Para peserta berbaris mengekor untuk
mengantri jatah sarapan pagi ini, sebuah hotdog. Aku berada dibarisan paling
belakang. Dinginnya udara pada malam hari dan empuknya tempat tidurku membuatku
bangun terlambat. Semoga saja masih tersisa sebuah hotdog untukku.
Giliranku
semakin dekat dengan setumpuk hotdog yang masih tersedia dimeja kayu itu.
Seorang gadis yang mengantri didepanku tampak memilih-milih salah satu hotdog
yang masih bertumpuk-tumpuk itu. Rambut pirang gelombangnya dibiarkan tergerai
sehingga aroma wangi terendus oleh hidungku. Postur tubuh gadis itu tinggi
semampai bak seorang model. Tapi mengapa ia mengikuti pelatihan ini? Padahal
wajahnya cukup cantik. Jemari tangannya masih menari-nari di tumpukan hotdog
itu. Entah sampai kapan ia akan memilih-milih hotdog.
“Nona,
cepatlah! Apa kau mau membiarkan kami mati kelaparan?” teriak seseorang pemuda yang masih mengantri
tak cukup jauh dibelakangku. Antrian panjang kini muncul gara-gara menunggu si
nona cantik ini memilih-milih hotdog cukup lama.
“Aha..”
gumam gadis itu. Gadis itu langsung mengambil sebuah hotdog dan pergi mengacuhkan orang-orang yang mengantri
dibelakangnya.
Kini
nampan yang kubawa sudah berisi dengan sebuah hotdog dan segelas susu yang
kuambil disudut cafetaria ini. Aku menengok ke sekeliling cafetaria ini untuk
mencari meja kosong yang masih tersedia. Diantara para peserta yang sedang
menikmati sarapannya, mataku menangkap sebuah lambaian tangan yang menarik
perhatianku. Miguel melambai-lambaikan tangannya sambil tersenyum lebar.
Disebelahya terdapat kursi kosong.
Aku
segera menghampiri Miguel dan kuletakkan nampanku dimeja. “Thanks,Mig. Kau
sudah disini sejak tadi?” tanyaku sambil mengoleskan mayonaise yang tersedia di
meja.
“Ya,
aku tak bisa tidur semalam. Sepertinya aku kelaparan sejak tadi malam. Maka aku
bangun pagi dan menjadi orang pertama yang datang ke cafetaria ini.” jawabnya
bersemangat meskipun kantung hitam membekas dikedua matanya.
“Kau
sudah daritadi disini? Kenapa hotdogmu belum habis? Kau ingin memberikannya
padaku?” balasku bercanda. Miguel langsung mengambil hotdognya yang tergeletak
dimeja dan menelannya bulat-bulat sehingga ia tersedak. Kami pun tertawa keras
karena aksi konyol Miguel.
Disaat
kami tertawa, suasana di cafetaria ini kembali hening. Semua mata tertuju
padaku dan Miguel. Seolah-olah mereka
tak suka dengan keakraban kami. Kutangkap sepasang mata tajam yang melihat
kearahku, bagaikan mata seorang pembunuh, tatapan mata Laundrup.
Meskipun
Laundrup duduk di depan dua meja seberangku, tatapan matanya yang kejam itu
terlihat jelas dan tak berpaling dariku. Aku hanya bisa menelan ludah dan
berhenti menatap tatapannya. Tiba-tiba selera makanku pun hilang.
“Mig,
apakah kau kenal dengan laundrup?” bisikku pada Miguel.
“Laundrup?
Pemuda kekar yang kemarin memukul anak bermulut besar itu? Dia keren sekali!
Hanya dengan sekali pukul bisa merobohkan lawannya. Sepertinya dia bakal
menjadi peserta terkuat di pelatihan ini.” terang Miguel. Sepertinya ia sangat
terobsesi dengan Laundrup.
“Tentu
saja aku tahu kejadian itu. Tapi sepertinya ia sedang memelototi kita.” jawabku
pelan. Mata Miguel mencari-cari sesuatu. Dia memutar posisi badannya untuk
melihat sekeliling cafetaria ini. Lalu berhenti sejenak dan raut wajahnya
tersenyum lebar seperti menemukan sesuatu yang ia cari. “Hei Laundrup!!
kemarilah! Rowan ingin berkenalan denganmu!” teriaknya sambil membekap leherku
dengan lengannya. Semua mata yang tadi mengarah pada kami kini justru megarah
ke aeah Laundrup. Mereka ingin menyaksikan reaksi Laundrup. Atau lebih tepatnya
tinjuan apalagi yang akan dilayangkan Laundrup kearah kami.
Aku
hanya bisa diam tak berdaya dibekapan Miguel.
Aku tak bisa membayangkan jika tinjuan maut Laundrup akan mendarat
diwajahku. Semoga saja mendarat di wajah Miguel, karena ialah yang memancing
Laundrup. Laundrup hanya terdiam dan tatapn matanya kini tidak tertuju pada
kami lagi. Semoga saja ia tak marah.
“Miguel!
Pelankan suaramu jika tidak kau tak akan bisa makan lagi disini.” Teriak Petra
dari kejauhan. “Baiklah, waktu sarapan telah habis. Ayo kalian semua berkumpul
di basemen utama.” lanjutnya. Untung saja waktu sarapan ini telah usai. Aku
berhutang budi pada Petra.
Semua
peserta keluar dari cafetaria yang berada dibagian utara Underground 50 ini.
Sepertinya Laundrup benar-benar tak menghiraukan Miguel dan ia berjalan keluar
dari cafetaria denan biasa saja. Aku berhafas lega karena aku selamat dari
tinjuan Laundrup.
“Ucapanmu
tadi sungguh tak lucu,Mig.” ucapku kesal. Miguel hanya menyeringaikan bibirnya
dan merangkul pundakku.
“Tenang
saja ,Man. Ia orang baik. Kita harus berteman dengannya.” ucap Miguel. Aku
hanya bisa menghela nafas.
“Kau
pikir ia akan membiarkanmu begitu saja? Di latihan nanti ia akan
menghajarmu,Boy.” sahut seseorang dibelakang kami. Ternyata Leandro, sang
provokator kejadian kemarin. Entah sejak kapan ia berada dibelakang kami.
Tindik bintang di telinganya tampak mengkilap. Berbeda dengan tindik yang ia
pakai kemarin.
Wajah
Miguel mendadak mejadi kesal. “Diam kau, punk busuk! Seharusnya Laundrup juga
memukulmu kemarin.”
Leandro
hanya tersenyum licik dan tertawa kecil. “Lihat saja nanti, Boy.”
Semua
peserta sudah berkumpul di dekat panggung basemen kemarin, tempat kapten Xavier
memberi sambutan. Namun hari ini tak terlihat sosoknya di basement ini. Dan
yang berada diatas panggung ini adalah Riot, Riot Pieterson. Salah seorang
petinggi ARMS yang menyebalkan bagiku.
“Selamat
pagi, para peserta. Apakah perut kalian sudah kenyang dengan sarapan istimewa
dari kami? Semoga saja kalian betah untuk tinggal disini.” ucap Riot dari atas
panggung.
“Buh.
Sungguh tak lucu sama sekali.” gerutu miguel pelan disampingku.
“Aku
hanya ingin menjelaskan, latihan dari hari pertama hingga hari kesepuluh adalah
pelatihan fisik dan teknik. uji stamina, otot dan kecepatan kalian. Dan tahap
pertama ini, kami akan menyaring 15 besar untuk bisa lolos ke pelatihan kedua,
yaitu pelatihan senjata dan kerjasama. Semoga saja kalian salah satu yang bisa
lolos. Bila gagal kalian akan menerima konsekuensinya bukan? Maka berusahalah
sekeras mungkin!” jawab Riot dengan senyum licik. Semua peserta hanya terdiam.
15
besar? Aku harus berusaha mati-matian masuk ke 15 besar jika aku tak ingin
ingatanku dihapuskan, ingatanku tentang kekuatan break.
“Nah,
sekarang naiklah ke lantai atas, di underground 49, untuk latihan stamina
kalian!” teriak Riot.
Mataku
berpaling ke sudut utara basement ini. Di sudut bagian kiri dan kanan basement
ini terdapat dua buah tangga yang besar. Tangga yang beralaskan keramik putih
yang sudah mulai memudar warnanya. Tiang penyangga tangga yang terbuat dari
besi itu juga sudah berkarat. Para pasukan ARMS telah siaga daritadi menunggu
kami didasar tangga itu. Aku dan peserta lain berjalan menuju ke bawah tangga
dimana pasukan itu sudah berdiri di tangga itu sejak aku keluar dari room ku
menuju ke cafetaria.
Seorang
wanita pasukan ARMS berambut boob cokelat tampak berdiri di anak tangga sebelah
kiri. “Halo para peserta, namanku Janet. Sekarang pisahkan barisan kalian
menjadi dua bagian untuk menaiki tangga bagian kiri dan kanan.” ucap Janet
sambil membetulkan kacamta hitam casualnya.
“agar
kita bisa sampai dilantai atas dengan tepat waktu, kuharap kalian memaksimalkan
tenaga kalian. Semoga sarapan kalian tadi cukup memberikan tenaga untuk
menaklukan seribu anak tangga ini.” lanjutnya.
“Sepertinya
hari ini bakal terasa berat.” bisik Miguel terhadapku. Barisan kami terpecah
menjadi dua bagian. Janet memimpin tangga sebelah kiri, sedangkan tangga
sebelah kanan dipimpin oleh pasukan lain berbadan kekar.
Aku
dan Miguel berada dijalur kiri. Kusempat curi pandang ke barisan yang memilih
jalur kanan, kulihat Laundrup berada diantara mereka. Hatiku cukup lega karena
aku tak sejalur dengan Laundrup. Dan yang terpenting saat ini, aku harus
menjaga jarak dengannya.
TO BE CONTINUED
the previous chapter :
Chapter one : Hidden Potential
Chapter two :The Other's in My Soul
Chapter three : Breaking Time
Chapter four : Walking in The Silent
Chapter five : The Ceremonial
Chapter six : Special Friends
Chapter seven : ARMS
Chapter eight : Participant
Share
Kami dari PT. TWIN Logistics mengajukan penawaran kerjasama dalam bidang pengurusan barang Import RESMI & BORONGAN.
Services Kami,
Customs Clearance Import sistem Resmi maupun Borongan
Penanganan secara Door to Door ASIA & EROPA Sea & Air Service
Penyediaan Legalitas Under-Name (Penyewaan Bendera Perusahaan)
Pengiriman Domestik antar pulau seluruh Indonesia laut dan Udara atau Darat.
Terima kasih atas kepercayaan kepada kami, semoga kerjasamanya berjalan dengan lancar.
Jika ada yang inggin dipertayakan, silahkan hubunggi kami di Nomor Phone : +62 21 8498-6182, 8591-7811 Whatssapp : 0819-0806-0678 E-Mail : andijm.logistics@gmail.com
Best Regards,
Mr. Andi JM
Hp Whatssapp : 0819-0806-0678 / 0813-8186-4189
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = == = = = =
PT. TUNGGAL WAHANA INDAH NUSANTARA
Jl. Raya Utan Kayu No.105 B Jakarta Timur 13120 Indonesia
Phone : +62 21 8498-6182, 8591-7811 Fax : +62 21 8591-7812
Email : andijm.logistics@gmail.com, cs@twinlogistics.co.id
Web : www.twinlogistics.co.id