Beberapa kali panggilanku tak kunjung diangkat
oleh ayahku.
Mungkin beliau sedang sibuk dengan
pekerjaannya.
Akhirnya jemariku mengetik sebuah pesan singkat
untuk ayahku.
“kapan
kau pulang,dad? Aku merindukanmu.Rowan”
CHAPTER EIGHT : Participant
Aku
bergegas membereskan bawaan yang harus kubawa, saat ku sedang melipatkan
sweaterku, bel apartemenku berbunyi. Suara nyaring yang berasal dari arah pintu
masuk cukup memekakkan telingaku. Kuintip dari dalam lubang pintu apartemenku
untuk melihat keluar. Ternyata Ren sudah datang menjemputku sore ini.
Sepertinya ia selalu tepat waktu bila mengadakan perjanjian dengan orang lain.
Dari lubang sempit itu, kulihat Ren
menggunakan jaket hitam tebal yang dibaluti dengan syal kuning
dilehernya. Rok merah marun juga menghiasi tampilannya sehingga tampak terlihat
elegan. ditambah sepasang sepatu boots hitam yang menutupi kedua kakinya yang
indah. Kubukakan pintuku untuk mempersilahkannya masuk.
“Hai
Ren. Sepertinya kau mudah menemukan apartemenku. Ayo masuklah. maaf jika
berantakan.”
“tak
apa Rowan. Tanpa membaca pikiranmu pun aku tahu kau orang yang jorok.”
sindirnya. Sepertinya ia senang sekali menyindirku. “apakah kau sudah siap?”
aku
menggelengkan kepalaku. “sebentar lagi.aku harus merapikan bawaanku dan
membersihkan apartemenku sebelum kutinggal selama sebulan. Oiya apa alasanku
agar bisa bolos dari sekolah?” tanyaku sambil duduk di sofa apartemenku.
“Bukannya
tadi disekolah kau bilang padaku bahwa kau akan beralasan menjaga saudaramu
yang sakit?” tanya Ren sambil melepaskan syal yang membaluti lehernya. Saat ku
membereskan pakaianku, Ren tiba-tiba
membantuku merapikan pakaian yang berserakan di di sofa.
“sudahlah
Ren. Kau tak perlu merapikan barangku. Biar aku sendiri saja.” ucapku untuk
tidak merepotkannya.
“Tak
apa, Rowan. Agar kita bisa menghemat waktu.”
“
Apakah perlu kugunakan break-ku?” tanyaku sambil menatap wajahnya. Kami diam
sejenak dan dilanjutkan dengan suara kami yang
tertawa keras.
Setelah
semua selesai, ku kunci pintu apartemenku, dan kutitipkan pada bibi Ruth. Bibi
Ruth agak terkejut dengan keputusanku untuk pergi ke Manchester. “Apa kau yakin
akan meninggalkan kegiatan sekolahmu selama selama sebulan? Itu terlalu lama
Rowan.” ucap bibi Ruth mencemaskanku.
“Iya
bi. Aku harus menjaga saudara ayah yang sedang sakit.” jawabku bohong. Semoga
saja bibi Ruth tidak menelepon ke ayahku tentang masalah ini. Lagipula bibi
juga tidak memiliki nomor ayahku.
“
tenanglah bi, lagipula nilaiku yang tinggi masih cukup untuk mengisi nilaiku
yang kosong selama sebulan.” jawabku sombong. Terlihat senyuman tersungging
dari bibi Ruth tanda percaya. Sekali lagi aku merasa tertekan atas kebohongan
yang kulakukan. Sebelum kami berangkat, bibi Ruth memberikan kami dua buah pie
rasa apel hasil buatannya sebagai bekal saat perjalanan nanti.
“terimakasih
bibi.” jawab Ren sambil tersenyum.
“You're
welcome,cantik. Rowan, apakah dia kekasihmu?” Goda bibi Ruth sambil
menyikut lenganku. Muka ku tiba-tiba memerah. Tak kusangka bibi Ruth memiliki
sifat humor seperti ini.
“Bukan,bi.
Dia teman sekelasku.” jawabku salah tingkah sambil menatap Ren. Sepertinya Ren
juga malu, seperti biasanya ia menundukkan kepalanya.
“Hahaha
dasar anak muda. Baiklah aku tak mau mengganggu kalian. Semoga perjalanan
kalian menyenangkan.” kata bibi ruth sambil menepuk pundak kami berdua.
Kami
berdua akhirnya tiba di stasiun London. Setelah membeli karcis kereta ekspress
tujuan Manchester, kami masuk menuju peron tempat menunggu kedatangan kereta.
Jantungku masih berdegup kencang. Aku sedikit ragu, apakah aku bisa mengikuti
pelatihan ini? Apakah aku bisa menyembunyikan kekuatanku ini? Namun aku harus
optimis. Untuk menjadi seorang Breakers.
Suasana di stasiun ini cukup ramai.
Aku bersama Ren menunggu dijalur 4 yang terdapat papan digital menunjukan arah
tujuan manchester. Di papan digital itu kereta ekspress akan tiba distasiun ini
sekitar 5 menit lagi. Cukup cepat pikirku. Kukira aku akan menunggu selama
berjam-jam.
Kereta
bewarna putih susu melintas dijalur 4, tempat kami menunggu. Suara roda yang
bergesekan dengan rel kereta ini cukup keras sehingga membisingkan telingaku.
Kerta ekspress tujuan manchester telah tiba di stasiun London . Aku dan Ren
menaiki tangga sambungan untuk masuk ke gerbong tujuh. Lalu aku menuju nomor tempat duduk ku yang tertera di karcis yang
aku beli. Dan aku baru tahu, bahwa
tempat duduk kami ternyata berhadapan. Berarti selama perjalanan aku akan
selalu melihat wajah Ren. Entah aku harus bahagia atau sedih. Bila
kuperhatikan, pandangan matanya kini terlihat lebih ramah sehingga lebih enak
untuk dipandang. Kulihat pemandangan perkotaan dari kaca jendela. Saat ini
London sedang dilanda hujan yang cukup lebat. Semoga saja hujan sudah reda saat
kami tiba di Manchester.
Sejak
naik kereta hingga sekarang, aku belum berbicara lagi dengan Ren, aku masih
malu atas humoran bibi Ruth. Aku harus mencairkan suasana. “Bagaimana
pengalamanmu mengikuti latihan itu?”
“Kau
ingin tahu? Singkat saja ya. Dari ratusan peserta, hanya aku yang berhasil.”
jawab Ren sambil menatap keluar jendela.
Aku
sedikit terkejut. “ Hanya kau saja? Lalu bagaimana dengan yang lainnya?”
“Aku
tak tahu. Menurut para anggota ARMS, para peserta yang gagal mengikat kontrak
dengan suku Nirvith akan di hapus ingatannya. ARMS akan menghapus ingatannya
tentang hal-hal yang berkaitan dengan break maupun dengan jiwa suku Nirvith
didalamnya. Atau bisa dikatakan ARMS akan memusnahkan jiwa suku Nirvith yang
ada didalam tubuh peserta.” jawab Ren.
Aku
sangat terkejut atas penjelasan Ren.
Seandainya mereka mengetahui jika aku memiliki kekuatan break, mereka
akan menghukum mati diriku. Dan seandainya aku gagal pelatihan mereka akan
menghapus ingatanku? Apakah yang harus kulakukan? Aku bagaikan seonggok daging
yang akan dilempar ke kandang singa atau kandang buaya.
“Jadi
intinya, aku harus berhasil kan? Kenapa kau tak bilang konsekuensinya dari awal
tadi? Kalau tahu begini aku tak akan ikut
pelatihan apapun yang hanya menyia-nyiakan nyawaku!” tanyaku geram. Emosi
sudah menguasai tubuhku.
Ren
tiba-tiba menggengam tanganku. “Maafkan aku Rowan.. bukan maksudku untuk
mencelaka...”
“lepaskan!”
jeritku menampik genggaman tangannya. Semua penumpang di kereta ini tampak
memandang kearah kami dengan ekspresi yang tidak suka. Sepertinya jeritanku
mengganggu mereka.
Ren kini hanya tertunduk. Terdengar
isakan kecil dibalik raut wajahnya yang ia sembunyikan. Ia menangis. Kulihat
kepalan tangan diatas pahanya tampak gemetaran. Baru kali ini aku membuat
seorang gadis menangis. Aku cukup tersentak atas reaksi Ren. Ia sudah minta
maaf atas kesalahannya padaku namun aku menolaknya dengan kasar.
Kuraih kedua tangannya yang masih gemetaran.
Kugenggam kedua tangannya yang masih kaku namun lama-kelamaan ia mau menerima
genggaman tanganku. Kedua tangannya terasa hangat dan basah oleh air matanya.
Kehangatan ini meluluhkan api amarah yang bergejolak didalam hatiku. Aku sempat
berfikir bahwa aku adalah kelinci percobaan baginya. Namun akhirnya aku bisa
memaklumi bahwa itu semua bukan kemauan Ren, tapi organisasinya. Seandainya aku
berada di posisi Ren, pasti aku akan melakukan hal yang sama seperti Ren.
Apakah aku telah menyakiti perasaannya?
Kugenggam
erat-erat kedua tangannya dan isakan tangisnya sepertinya sudah berhenti, namun
Ren masih tertunduk. Kulepaskan
genggamanku. Ia tampak sedikit tersentak. Sepertinya ia tak membaca pikiranku
dan mengira bahwa aku membencinya. Aku maju selangkah dari tempat duduk ku dan
berjongkok. Ku angkat kedua pipinya dan wajah kami kini berhadapan. Tampak
kedua matanya masih berair. “Maafkan aku Ren atas tindakanku yang kasar. Aku
justru berterimakasih karena kaulah yang membimbingku untuk memiliki kekuatan
ini.”
“Lain
kali jangan pernah teriak dihadapanku, bodoh” jawab Ren sambil terisak-isak.
Aku hanya tersenyum lebar sebagai tanda minta maaf sambil mengusap-usap
kepalanya.
“Iya,
aku janji. Sudahlah jangan menangis lagi. Aku paling tak bisa membuat gadis
sepertimu menangis.” godaku. Kusodorkan sapu tangan yang ada dikantung
celanaku. “Bersihkan ingusmu. Kau jorok sekali.” usahaku berhasil. Ren tertawa
didalam tangisan kecilnya.
Aku
terbangun dari tidurku saat kereta tiba-tiba berhenti. Sepertinya kami sudah
tiba di Manchester. Kulihat Ren sudah berkemas-kemas untuk turun dari
kereta.”Sampai kapan kau mau bersantai-santai,pemalas? Kita sudah sampai.”
“iya
cerewet.” jawabku sambil menggosok kedua mataku. Kini Ren kembali seperti
biasanya dan lebih ceria. Ternyata sifat gadis ini memang sulit ditebak.
Saat
kami turun dari gerbong kereta, tak jauh didepan kami tampak seseorang seperti
menunggu kami, karena tatapan matanya tertuju pada kami. Seorang Pria setengah baya kurus tinggi yang memakai setelan jas hitam
dan kacamata hitam. Pandangannya terus kearah kami dan melangkah ketempat kami
berada. “Selamat datang kembali di Manchester, Ren Misumi. Apakaah perjalananmu
menyenangkan?” salam pria itu sambil berjabat tangan dengan Ren.
“Terimakasih,
Riot. Sebenarnya kau tak perlu repot-repot menjemput kami. Tentu saja
perjalanan kami menyenangkan.” Jawab Ren berbohong. Padahal dia menangis selama
diperjalanan.
“Hm..
apakah ini bocah yang memiliki potensi itu?” Tatapan mata Pria yang bernama
Riot itu kini menatapku. Seolah menerawangku dari balik kacamatanya apakah aku
memiliki kekuatan break atau tidak.
“Perkenalkan,
dia Rowan Thomskin. Salah satu peserta pelatihan. Dan Rowan, dia Riot
Pieterson. Salah satu petinggi ARMS.” Ren memperkenalkan kami berdua. Saat aku
mengulurkan tanganku untuk berjabat tangan, Pria kurus itu tak menyambutnya. Ia
langsung membalikan badan dan berjalan menuju pintu keluar stasiun. Sungguh
menyebalkan orang tua sombong ini.
Mobil
sedan Porsche hitam datang menghampiri kami yang berdiri di pintu keluar
stasiun. Sepertinya mobil mewah ini akan mengantarkan kami ke markas organisasi
ARMS. Aku duduk dibelakang bersama Ren. Sedangkan Riot duduk didepan bersama
supir yang tak kalah rapinya dengan menggunakan setelan jas hitam.
“Baiklah
bocah. Apakah kau siap? Semoga saja kau berhasil. Kau tahu akibatnya kan jika
gagal?” Riot menoleh kearah kami.
Aku
menelan ludahku. Aku gugup dengan pertanyaan itu. Sejujurnya aku masih tak
siap. Aku diam sejenak. “ya aku tahu. Dicuci otak kan?” tanyaku dengan gugup.
“Ya,
dicuci otak. Kau akan melupakan tentang break,jiwa suku nirvith, dan organisasi
kami. Atau lebih tepatnya kami menyegel kekuatan yang gagal itu.” ucap Riot.
Melupakan
tentang organisasi ARMS? Apakah artinya aku akan melupakan Ren juga? Sejujurnya
aku tak ingin ingatanku akan Ren juga dihilangkan. Sepertinya organisasi ini
sungguh rahasia.
“Dan
kau Ren, apakah kau sudah mendapat pecahan batu itu?” kini giliran Ren yang
ditanya.
“Sudah.
Aku mendapatkan batu itu saat bertemu pertama kali dengan Rowan. Kini batu itu
aman pada kami.” jawab Ren tanpa ekspresi.
“Wah..
kerja bagus Ren! Dengan adanya batu ditangan kita, kita bisa menjaga kestabilan
dunia.” jawabnya dengan santai.
“kestabilan
dunia? Apa maksudnya?”tanyaku penasaran.
Riot diam sejenak. Ia menoleh kebelakang dan ekspresi mukanya berubah
menjadi marah. “Kau ingin tahu? Luluslah dari pelatihan ini baru kau bisa ikut
campur, bocah!!” teriak Riot dengan sangat kencang. Semua yang ada didalam
mobil kecuali Riot sendiri tampak kaget . Aku hanya terdiam karena teriakan
Riot. Badanku gemetaran.
“Hentikan
itu Riot! Bisakah kau bicara dengan santai saja?” jawab Ren dengan jengkel. Ia
membelaku.
“hahaha.
Asal kau tahu saja bocah. Jangan pernah menyela pembicaraan orang lain!
Mengerti?” jawab Riot sambil mengetuk-ngetuk dahiku beberapa kali. Sepertinya
dia mempermainkanku. Emosi menjalar keseluruh tubuhku. Ingin sekali kugunakan
break-ku sebentar, lalu kuhajar habis-habisan wajahnya hingga babak belur tanpa
dia sadari siapa yang memukulnya. Namun itu adalah pemikiran pengecut. Aku
harus mengontrol emosiku.
Suasana
perjalanan ini begitu hening setelah teriakan Riot tadi. Akupun terdiam dan
hanya diamlah yang bisa kulakukan saat ini. Tiba-tiba tangan Ren menggengam
tangan kananku. “sabarlah,Rowan.
Perjuanganmu baru akan dimulai.” bisik Ren . Kubalas hiburan itu dengan
tersenyum kecil. Cuaca manchester sore ini dihiasi dengan rintik-rintik hujan.
Tidak seperti di London yang hujan lebat. Tetesan-tetesan air menerpa kaca mobil yang kusandari dengan
kepalaku.
Setengah
jam perjalanan kami akhirnya berhenti disebuah pabrik besar yang sepi. Terdapat
papan yang bertuliskan “Dilarang Masuk” terpasang dipagar kawat yang memagari
halaman pabrik tersebut. Pintu gerbang baja yang cukup tebal itu terbuka
otomatis saat mobil ini mendekati pintu gerbang masuk menuju halaman pabrik.
Dihalaman pabrik itu terdapat puluhan mobil sedan porsche seperti yang
kutumpangi berbaris berjejer didepan gedung pabrik itu. Saat mobil yang
kutumpangi mencari tempat untuk berhenti, mataku tertuju pada salah satu mobil
lainnya yang menurunkan penumpang. Seorang pemuda berbadan kekar yang mungkin
seusiaku, dengan rambut pirang yang pendek cepak seperti calon wajib militer.
Sepertinya dia salah satu peserta pelatihan ini.
“Baiklah
Tuan-tuan. Tujuan kita telah sampai. Silahkan turun dari mobil.” kata supir
mobil ini yang daritadi hanya diam selama perjalanan.
“Terimakasih
pak.” jawab Ren dengn tersenyum. Aku, Ren dan Riot turun dari mobil itu dan
menuju pintu masuk. “Aku akan mengantar kalian kedalam. Jadi ikuti aku bila tak
ingin tersesat.” ucap Riot kepada kami.
“Tak
perlu kau antar aku juga sudah tahu tempat ini,Riot.” kata Ren dengan ekspresi
muka yang dingin. Sepertinya ia masih marah terhadap perlakuan Riot terhadapku.
“Yah
terserah kau sih.” jawab Riot sambil memasukkan ID Card nya ke pintu masuk
kedalam gedung pabrik itu. Saat pintu masuk terbuka, didalam gedung ini kosong.
Tak ada peralatan apapun kecuali sebuah lift diujung gedung ini. Hal yang
membingungkan bagiku. Padahal pabrik ini tak mempunyai lantai diatasnya, tapi
mengapa ada lift? Saat pintu lift terbuka, aku ikut masuk.
“Baiklah,Kita
akan menuju ke basemen.” jawab riot sampai menekan tombol paling bawah “UG50” .
Berati markas rahasia ARMS berada dibawah tanah? Sungguh mengejutkan. Lift yang
kami tumpangi akan terjun menuju 50 lantai dibawah permukaan gedung pabrik
tadi. Butuh sekitar lima belas menit didalam lift sehingga membuatku mual ingin
muntah. Tapi sepertinya Riot dan Ren sudah terbiasa dan menikmati sensasi
terjun bebas ini.
“kapan
lift ini akan sampai tujuan?” tanyakun menggerutu.
“apa
kau bodoh?.tentu saja jika lift ini sudah berhenti!” jawab Riot dengan kasar.
Akhirnya
lift berhenti dan untung saja aku tidak muntah saat didalam lift. Seandainya
aku muntah, Riot pasti akan memarahiku habis-habisan. Saat aku keluar dari
lift, dasar basement ini tampak luas sekali. Batu-batu granit menghiasi
dinding-dinding bangunan ini. Di
basement ini juga banyak sekali anak-anak seumuran denganku. Mereka saling
bercengkerama antara satu dengan yang lain. Kulihat dari fisik mereka
sepertinya mereka berasal dari etnis-etnis yang tersebar diseluruh dunia. Aku
tak menyangka, sebanyak inikah calon peserta yang akan memiliki kekuatan break?
“Baiklah
Ren. Aku harus bergabung dengan jajaran pemimpin lainnya. Bisakah aku bawa batu
itu sekarang?” kata Riot sambil menyodorkan telapak tangannya.
“Rowan,
berikan batu itu pada Riot.” perintah Ren.
Kubuka ranselku dan kuambil bungkusan putih yang menyelimuti batu merah
itu. Saat hendak kuserahkan batu itu, Kedua matanya tampak terbuka lebar seakan
tak sabar untuk menyentuh batu itu. “Terimakasih Bocah. Semoga kau berhasil.”
Ucap Riot dengan mata liciknya lalu meninggalkan kami.
“Rowan,
akhirnya kita sampai disini. Satu pesanku, jangan sampai kau gunakan break-mu
ataupun berkonsultasi dengan Tulo. Karena diruangan ini terdapat suatu batu
yang bisa mendeteksi kekuatan break. Bahkan akupun tak berani menggunakan
kekuatanku.” ucap Ren memperingatkanku.
“Terima
kasih,Ren. Aku akan berusaha sekuat tenagaku.” jawabku tegar. Kami terdiam
sejenak. Mata kami bertatapan untuk kesekian kalinya.
“Aku
harus pergi.” jawab Ren pelan.
“Pergi?
Berarti kau tak disini selama aku pelatihan?” tanyaku tersentak kaget untuk
kesekian kalinya. Aku butuh Ren untuk menyemangatiku selama aku disini.
“Tenang
saja, Rowan. Aku akan menjengukmu setiap seminggu sekali.” jawab Ren
menghiburku dengan senyumannya. Kami pun masih terdiam. Tiba-tiba Ren
memelukku. Seolah tak ingin meninggalkanku sendiri disini. Kebersamaanku
dengannya telah menimbulkan suatu rasa yang belum pernah kurasakan sebelumnya.
Aku masih diam mematung. Aku tak berani membalas pelukannya. “aku pasti akan
kembali.” bisik Ren dengan lembut lalu melepaskan pelukannya setelah beberapa
detik.
Aku hanya terdiam melihat Ren berbalik arah
dan meninggalkanku langkah demi selangkah menuju lift yang mengantarkan kami
tadi. Mata kami kembali bertatapan saat pintu lift akan tertutup dan membawa
Ren kembali ke permukaan gedung. Dan aku melihat senyuman manisnya terlontar
dari bibirnya. Semoga ini bukan senyuman terakhirnya yang bisa kulihat. Aku
harus berusaha menjadi anggota ARMS, atau lebih tepatnya aku harus berusaha
agar ingatanku tentang Ren tak akan dihilangkan.
Suara
bising mikrofon yang berasal dari beberapa spaker yang menempel di pilar-pilar
gedung ini berbunyi. “Semua peserta pelatihan anggota ARMS diharapkan berkumpul
di balkon utama untuk menerima pengarahan selanjutnya”. Para pendamping peserta
mulai meninggalkan para peserta pelatihan dan menuju lift seperti yang dipakai
Ren untuk meninggalkanku. Aku segera
berlari kecil menyusul rombongan para peserta lainnya yang tak jauh didepanku.
Kerumunan anak muda yang mungkin berjumlah hampir seratus orang ini terdengar
berisik sekali. Sebanyak inikah orang yang memiliki potensi kekuatan break?
Kami
semua menuju balkon yang terdapat sebuah mimbar dan dibelakangnya terpasang
layar raksasa seperti yang ada dibioskop. Aku tak tahu apakah ada sesi
perkenalan organisasi ini seperti saat pengenalan klub ekstra di sekolah. Saat berada dikerumunan, terdapat keributan
kecil. Seorang pemuda berbadan kurus terjatuh karena menyenggol seorang anak
berbadan kekar, yang kulihat dihalaman parkir tadi. “Hei tak bisakah kau
menyingkirkan badanmu saat aku lewat,Bung?” teriak pemuda berbadan kurus serta
berkulit gelap itu. Wajahnya seperti berasal dari Indie.
Pemuda
berbadan kekar itu hanya melirik kearah pemuda kurus itu lalu megacuhkannya
lagi. Sepertinya ia tidak tertarik meladeni ocehan itu. Namun juga enggan
meminta maaf.
“Hei
Singh, apakah perlu kami membantumu menghajarnya? Ahhahaha..” teriak salah satu
pemuda berambut jabrik dan memiliki tindik dihidungnya. Dinamepacknya tertulis
nama Leandro.
“Tak
perlu Lean. Manusia kekar ini sepertinya bisu. Atau dia tak mengerti bahasa
manusia?” balas pemuda yang bernama Singh itu terhadap provokasi yang berasal
dari Leandro. Gelak tawa membanjiri kerumunan itu setelah Singh membuat lelucon
yang bagiku sangat tak lucu. Namun herannya beberapa dari mereka tampak
menikmati hiburan ini. Tampak beberapa gerombolan gadis juga terpikat oleh
provokasi yang diucapkan Leandro.
Di
tengah suara tawa itu, tiba-tiba muncul suara benturan keras terdengar diantara
kerumunan itu. Pemuda kekar itu menghantam bibir Singh dengan tinjuannya .
Singh pun terjatuh tersungkur ke lantai dan darah mengucur deras dar bibirnya,
mungkin giginya juga ada yang rontok. Mata Singh mulai berair ketakutan sambil
menutupi bibirnya dengan kedua tangannya.
“Hentikan
celotehanmu sebelum kuhancurkan mulutmu itu!” kata Pemuda kekar itu terhadap
Singh. Suasana kerumunan ini menjadi hening. Tak ada suara yang berani membalas
ucapan pemuda kekar itu. Leandro sang provokator pun hanya terdiam mematung seperti
tak ingin menjadi korban berikutnya.
“Hentikan!
Apa yang terjadi? “ teriak salah seorang gerombolan pasukan berseragam dengan
logo segitiga bertuliskan ARMS di baju
mereka. “Laundrup! Apa yang kau lakukan? Jangan membuat keonaran disini jika
kau masih ingin mengikuti pelatihan!” teriak seorang wanita diantara pasukan
ARMS.
“Lebih
baik kalian mengajari dia cara berbicara yang benar dahulu sebelum pelatihan
ini dimulai.” balas Laundrup. Semua
peserta yang ada dibasement ini tampak tercengang melihat Laundrup
berani melawan anggota ARMS.
“Cukup
Laundrup. Tak seharusnya kau membantah. Lebih baik segera panggil tim medis
untuk merawat Singh.“ komando seorang pemuda yang cukup gagah itu terhadap
rekan anggotanya. “sebentar lagi pemimpin
ARMS akan hadir disini. Bisakah kalian berbaris rapi?” lanjut pemuda itu yang
ternyata bernama Petra Vilosovki, nama yang tercantum di ID Card nya.
Aku
hanya bisa terdiam didalam keributan kecil ini. Aku tak berani ikut campur
dalam mengatasi permasalahan sepele yang akhirnya menjadi besar seperti ini.
Apakah yang harus kulakukan? Apakah aku akan berhasil menjadi anggota ARMS
dengan mengalahkan peserta-peserta seperti mereka?
TO BE CONTINUED
the previous chapter :
Chapter one : Hidden Potential
Chapter two :The Other's in My Soul
Chapter three : Breaking Time
Chapter four : Walking in The Silent
Chapter five : The Ceremonial
Chapter six : Special Friends
Chapter seven : ARMS
Please leave a comment for this blog !! I hope can continued this project !! ^^
0 komentar:
Posting Komentar